Keindahan Islam (1)

Keindahan Islam (1)

Bismillahi wal hamdullillahi wahdahu wash shalatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dahu, amma ba’du.

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang meridahi agama Islam untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala puji hanya bagi Allah yang menjadikan syari’at yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup syari’at Allah dan menjadi syari’at yang paling sempurna serta dibawa oleh utusan-Nya yang paling mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keindahan Islam adalah suatu tema yang sangat menyejukkan jiwa orang-orang yang berhati hanif dan melapangkan dada orang-orang yang berfitrah lurus. Betapa tidak, dengan mengetahui keindahan Islam, seorang muslim semakin paham tentang agama yang dianutnya, dan semakin mantap dalam beragama Islam. Dengan dijelaskan tentang keindahan Islam, seorang non muslim pun akan terdakwahi dan syubhat merekapun akan terbantah.

Perkara-perkara inilah yang disebut oleh Markaz Qatar litta’rif bilIslam –dalam kitabnya berjudul: At-Ta’rif bil Islam– sebagai hal yang merupakan urgensi mengenal keindahan Islam. Disebutkan di dalam kitab tersebut, bahwa urgensi mengenal keindahan Islam itu terbagi menjadi tiga sisi faedah besar, yaitu:

Sisi Pemeliharaan: Menguatkan Keimanan Seorang Muslim

Mengenal keindahan Islam mendorong seorang muslim untuk mengetahui agamanya, semakin mengenal keistimewaan, dan keagungan agamanya, sehingga menguatlah keimanannya dan bertambah kuat iltizamnya dengan agama Islam.

Sisi Pencegahan: Membentengi Diri dari Serangan Syubhat

Sesungguhnya mengenal keindahan Islam merupakan bekal dan senjata bagi seorang muslim dalam menghadapi syubhat yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam. Seorang muslim yang paham tentang keindahan Islam diharapkan akan mudah mengetahui kedustaan dan keburukan syubhat yang merusak keimanannya dan mampu membentengi diri dari bahayanya.

Sisi Dakwah: Metode yang Sangat Indah dalam Berdakwah

Salah satu metode terbaik dalam menjelaskan Islam kepada orang-orang dan mengajak mereka melaksanakan agama Islam adalah dengan mengenalkan keindahan Islam yang sangat banyak kepada mereka. Hal ini, bukan hanya bermanfaat bagi keimanan seorang muslim, namun juga akan mendorong non muslim tertarik mengenal agama Islam dengan baik serta mengetahui keindahan dan kekokohan dasar-dasar agama Islam ini.

Islam Adalah Satu-Satunya Agama yang Diridhoi Oleh Allah

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imraan:19).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

إخبار من الله تعالى بأنه لا دين عنده يقبله من أحد سوى الإسلام ، وهو اتباع الرسل فيما بعثهم الله به في كل حين ، حتى ختموا بمحمد صلى الله عليه وسلم ، الذي سد جميع الطرق إليه إلا من جهة محمد صلى الله عليه وسلم ، فمن لقي الله بعد بعثته محمدا صلى الله عليه وسلم بدين على غير شريعته ، فليس بمتقبل .

“(Dalam ayat ini terdapat) kabar dari Allah Ta’ala bahwa tidak ada agama di sisi-Nya yang Allah terima dari seseorang selain Islam, yaitu mengikuti para rasul dalam perkara yang Allah utus mereka dengannya dalam setiap waktu hingga ditutup dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah menutup seluruh jalan menuju kepada-Nya kecuali dari jalur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang berjumpa dengan Allah setelah Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa agama Islam, dalam keadaan ia beragama dengan agama selainnya, maka agamanya tersebut tidaklah diterima.”

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29308-keindahan-islam-1.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (7)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (7)

2. Panggilan Cinta

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menjenguk kami. Ketika itu saya memiliki adik laki-laki yang masih kecil, dijuluki Abu Umair. Ia memiliki burung kecil yang ia suka bermain dengannya. Lalu matilah burung itu. Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya, lalu beliau melihatnya sedang bersedih, kemudian beliau bertanya,

مَا شَأْنُهُ

“Ada apa dengannya?”

Orang-orang menjawab “Telah mati burung kecil itu!”, maka beliaupun bertanya,

يَا‏ ‏أَبَا عُمَيْرٍ‏ مَا فَعَلَ ‏ ‏النُّغَيْرُ

“Wahai Abu Umair! Apakah gerangan yang dilakukan oleh burung kecil itu?” (HR. Abu Dawud, shahih).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja memanggilnya dengan panggilan khas (tashghiir) dalam rangka untuk membuatnya senang dan merasa diperlakukan dengan sikap yang memang diharapkannya, yaitu memberi perhatian yang lebih disaat dirinya sedang bersedih. Cobalah ayah dan ibu perhatikan kisah di atas, bukankah sebenarnya beliau sudah diberitahu bahwa Abu Umair sedih karena burung kecilnya mati?

Namun mengapa beliau tetap saja bertanya? Hikmah yang besar tentunya di balik sikap beliau tersebut.

Secara psikologis, anak-anak yang mengalami kesedihan butuh tempat untuk curhat, mengeluarkan uneg-uneg yang ada dalam hatinya. Dan semakin orang itu memiliki keutamaan yang tinggi ditambah dengan sifatnya yang mudah akrab dengan anak-anak, hal ini akan mendorong anak-anak semakin terbuka untuk curhat kepadanya.

Oleh karena itu, sengaja beliau bertanya menggunakan kalimat yang memancing tercurahkannya isi hati sang anak kepadanya. Di samping itu, seorang anak kecil ketika mendapatkan perhatian dari orang yang terhormat, apalagi dari sosok Utusan Allah yang termulia, akan sangat merasa dihargai, sehingga giliran selanjutnya diharapkan terbentuk kepribadian yang memiliki kepercayaan diri yang bagus.

3. Sambutan Cinta

Dari Abdullah bin Ja’far berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِصِبْيَانِ أَهْلِ بَيْتِهِ

Dahulu kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika datang dari safar, diarahkanlah anak-anak dari Ahli Bait beliau (untuk menyambut beliau)”.

Abdullah bin Ja’far berkata,

وَإِنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَسُبِقَ بِي إِلَيْهِ فَحَمَلَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ ثُمَّ جِيءَ بِأَحَدِ ابْنَيْ فَاطِمَةَ فَأَرْدَفَهُ خَلْفَهُ قَالَ فَأُدْخِلْنَا الْمَدِينَةَ ثَلَاثَةً عَلَى دَابَّةٍ

Suatu saat beliau datang dari safar, lalu akupun didahulukan untuk menyambut beliau, lalu beliaupun mengangkatku (untuk didudukkan di atas tunggangan beliau) di depan beliau, kemudian didatangkanlah salah satu dari dua putra Fathimah (Hasan atau Husain, pent.), beliaupun memboncengnya di belakangnya, lalu kamipun bertiga menaiki binatang tunggangan masuk Madinah” (HR. Muslim).

Lihatlah bagaimana sambutan hangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat memungkinkan beliau ketika itu masih dalam keadaan capai karena beratnya safar zaman dahulu, namun tetap bertawadhu’ dan menyempatkan diri untuk menyambut kedua anak tersebut dengan penuh kedekatan, sehingga mereka berduapun merasa tersanjung dan merasa akrab dengan manusia yang paling mulia di muka bumi. Kenangan seperti inilah yang masih diingat oleh bocah sang pelaku sejarah ketika itu, Abdullah bin Ja’far radhiallahu ‘anhu. Hal ini menanamkan pelajaran-pelajaran karakter yang mulia, seperti rendah hati, kemampuan membangun komunikasi dengan baik, dan empati yang bagus kepada orang lain.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29174-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-7.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (6)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (6)

Cinta yang murni itu memiliki tanda-tanda. Kasih sayang yang tuluspun menuntut adanya pernyataan dan sikap sebagai bukti-buktinya. Tanda-tanda cinta dan bukti-bukti kasih sayang itu adalah sebuah bahasa manusia saat mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam hatinya. Nah, apa saja tanda-tanda dan bukti-bukti cinta dan kasih sayang yang tulus dari seorang ayah dan ibu kepada putra-putrinya? Berikut ini jawabannya.

  1. Cinta Allah Ta’ala
  2. Panggilan Cinta
  3. Sambutan Cinta
  4. Kata Cinta
  5. Sentuhan Cinta
  6. Dekapan Cinta
  7. Ciuman Cinta
  8. Candaan Cinta
  9. Penghargaan Cinta
  10. Pemberian Cinta

Perlu dipahami bahwa jumlah sepuluh disini bukanlah maksudnya sebagai pembatasan, namun hal ini sekedar untuk memberi contoh bentuk-bentuk cinta dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak. Selanjutnya diharapkan para pembaca terpacu untuk mencari contoh-contoh lain dari suri teladan terbaik di dunia ini.

1. Cinta Allah Ta’ala Adalah Asal dari Seluruh Cinta yang Terpuji

Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan,

فأصل المحبة المحمودة التي أمر الله تعالى بها، وخلق خلقه لأجلها: هي محبته وحده لا شريك له المتضمنة لعبادته دون عبادة ما سواه، فإن العبادة تتضمن غاية الحب بغاية الذل، ولا يصلح ذلك إلا لله عز وجل وحده

“Dasar cinta terpuji yang Allah Ta’ala perintahkannya dan Allah ciptakan makhluk karenanya adalah mencintai Allah semata, tiada sekutu baginya. Cinta Allah mengandung peribadahan kepada-Nya semata dan tidak menyembah selain-Nya, karena sesungguhnya ibadah mengandung puncak cinta diiringi dengan puncak perendahan diri. Sikap ini tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla semata” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 457-458).

Kecintaan seseorang kepada Allah wajib ada di atas segala bentuk kecintaannya kepada selain-Nya, karena cinta Allah adalah dasar dari agama Islam ini, dengan sempurnanya cinta ini pada hati seseorang, menjadi sempurna pula keimanannya, dan sebaliknya, dengan berkurangnya kadar kecintaan seseorang kepada Allah, akan berkurang pula keimanannya.

Allah berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman lebih mencintai kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 165).

Ibnul Qoyyim pun juga menjelaskan bahwa cintalah yang menggerakkan orang yang mencintai sesuatu mencari sesuatu tersebut. Maka orang yang mencintai Allah dengan benar dan baik, akan tergerak untuk mencari perkara yang dicintai oleh Allah pada setiap ucapan maupun perbuatannya. Lahirnya maupun batinnya akan ia pantau terus agar sesuai dengan kecintaan dan keridhaan Rabbnya. Inilah yang kita kenal pada penjelasan sebelum ini dengan definisi ibadah.

Ayah dan Ibu, ajarkanlah kepada ananda cinta kepada Sang Penciptanya. Tanamkan kepada diri putra-putri Anda bagaimana mencintai Allah dengan baik dan benar. Pahamkan mereka dengan penuh kasih sayang, bahwa mencintai Allah itu harus dibuktikan dengan mencari segala sesuatu yang dicintai-Nya. Perkara yang dicintai oleh Allah terdapat dalam syari’at-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Allah yang benar adalah dengan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS. Ali Imraan: 31).

Semoga dengan demikian putra-putri kita menjadi sadar bahwa tujuan hidup mereka adalah menjadi anak-anak yang dicintai oleh Allah. Inilah letak kebahagiaan yang hakiki bagi kita sebagai orang tua ketika melihat putra-putri kita dicintai dan diridhai oleh Allah. Bagaimana kita tidak bahagia, tidak sejuk pandangan mata kita, dan tidak ridha hati kita sebagai orang tua? Bukankah apabila Allah ridha kepada seorang anak, maka tentulah setiap orang tua yang lurus fithrahnya akan ridha terhadapnya.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29152-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-6.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (5)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (5)

Definisi Kasih Sayang (rahmah)

Dalam kitab Mufrodaatul Quraan yang ditulis oleh Ar-Ragib Al-Ashfahani rahimahullah dikisahkan sebagai berikut.

الرَّحْمَة رقَّة تقتضي الإحسان إلى الْمَرْحُومِ، وقد تستعمل تارةً في الرِّقَّة المجرَّدة، وتارة في الإحسان المجرَّد عن الرِّقَّة

“Rahmah adalah rasa belas kasih (didalam hati) yang mengharuskan (seseorang) berbuat baik kepada makhluk yang disayangi, terkadang kata ‘rahmah’ dipakai untuk rasa belas kasih (didalam hati) saja, namun terkadang kata ‘rahmah’ dipakai untuk mengungkapkan perbuatan baik saja tanpa rasa belas kasih (di dalam hati).”

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan kata ‘rahmah’ dalam Ighaatsatul Lahfan,

فالرحمة صفة تقتضي إيصال المنافع والمصالح إلى العبد ، وإن كرهتها نفسه ، وشقت عليها ، فهذه هي الرحمة الحقيقية

“Rahmah adalah suatu sifat yang mengharuskan adanya penyampaian manfaat dan maslahat kepada seorang hamba meskipun hal itu dibenci dan dirasakan berat olehnya, inilah rahmah yang sebenarnya”.

Ibnul Qoyyim pun melanjutkan penjelasannya bahwa orang yang paling sayang kepada Anda adalah orang yang paling bermanfaat dan bermaslahat bagi Anda dan paling menjaga anda dari segala hal yang membahayakan Anda, walaupun sikap itu berat Anda rasakan.

Misalnya, seorang ayah yang sayang kepada anaknya, maka ia akan ‘memaksakan’ atau mengarahkan untuk mau belajar adab Islami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan sang ayah pun akan menghalang-halangi anaknya menuruti hawa nafsunya yang membahayakannya.

Dan apabila sang ayah mendapatkan dirinya teledor dalam hal itu, maka itu disebabkan sedikitnya rasa kasih sayangnya kepada sang anak, meskipun ia berdalih bahwa dirinya amat menyayangi putranya dan ingin menyenangkannya, karena ini berarti kasih sayang yang diiringi ketidaktahuan akan hakikat kasih sayang yang sebenarnya, sebagaimana sikap ini terjadi pada sebagian ibu-ibu. Oleh karena itu, termasuk kesempurnaan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang adalah Dia menimpakan berbagai macam musibah kepada seorang hamba, mengujinya dengan berbagai macam ujian, dan mencegahnya mendapatkan banyak hal yang disukai oleh hawa nafsunya, karena Dia menyayanginya.

Namun, karena kebodohan seorang hamba dan kezalimannya, ia menyangka yang tidak-tidak terhadap Rabbnya sampai iapun tidak memahami bahwa hal itu adalah bentuk ihsan Allah kepada dirinya dengan mengujinya dan menimpakan musibah kepadanya. Allah Ta’ala Maha Mengetahui apa yang paling bermanfaat bagi diri seorang hamba (Diringkas dari Ighaatsatul Lahfan, hal. 491).

Definisi Cinta

Ar-Rogib Al-Ashfahani rahimahullah mengatakan:

المحبَّة: ميل النفس إلى ما تراه وتظنه خيرًا

“Cinta adalah condongnya jiwa kepada sesuatu yang dipandangnya dan disangkanya sebagai sebuah kebaikan”.

Adapun Ibnul Qoyyim rahimahullah memiliki pandangan lain dalam mendefinisikan cinta, beliau menjelaskan bahwa tidaklah ada suatu ungkapan yang lebih jelas dalam membatasi makna cinta daripada kata ‘cinta’ itu sendiri. Justru dengan membatasi makna cinta dalam sebuah definisi akan menambah tidak jelasnya makna cinta.

Adapun apa yang banyak dikatakan oleh manusia tentang cinta, hanyalah sebatas penjelasan tentang sebab-sebab cinta, perkara-perkara yang mengharuskannya, tanda-tandanya, dan bukti-bukti cinta (Diringkas dari Madarijus Salikin : 3/11). Jadi, cinta menurut Ibnul Qoyyim adalah cinta itu ya cinta, suatu hal yang sulit jika harus menjelaskan perkara yang sudah jelas dirasakan dalam hati manusia.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29133-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-5.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (4)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (4)

Urgensi Mendidik Anak dengan Cinta dan Kasih Sayang

Tatkala Anda tahu bahwa kecintaan Allah adalah tujuan mendidik anakmaka ketahuilah bahwa mendidik anak dengan cinta karena-Nya adalah perkara yang dicintai-Nya. Allah Ta’ala amatlah mencintai hamba-hamba-Nya yang didalam hatinya terdapat kasih sayang dan cinta kepada sesamanya. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian” (HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh Al-Albani).

Renungkanlah, tidakkah kita mau menjadi orang yang disayangi-Nya dan dicintai-Nya melalui cara mendidik anak-anak dengan kasih sayang dan cinta karena Allah?

Perhatikanlah hadis berikut ini, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengasuh dua anak kecil, Usamah bin Zaid dan  Al-Hasan bin Ali dengan asuhan cinta. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memeluk dirinya dan Al-Hasan lalu bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُمَا فَأَحِبَّهُمَا أَوْ كَمَا قَال

“Ya Allah, sungguh aku mencintai keduanya maka itu cintailah keduanya”, atau sebagaimana beliau sabdakan” (HR. Al-Bukhari).

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambilku dan mendudukkanku di atas pahanya serta meletakkan Hasan di paha beliau yang lainnya, lalu beliau mendekap keduanya dan berdo’a,

اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا

Ya Allah kasihilah keduanya karena aku mengasihi keduanya” (HR. Al-Bukhari).

Pelajaran

  1. Di dalam hadis yang agung di atas terdapat isyarat bahwa kecintaan dan kasih sayang beliau kepada dua anak kecil tersebut adalah cinta dan kasih sayang yang ikhlas karena Allah dan demi mengharap keridhaan-Nya, karena mengiringi kecintaan dan kasih sayangnya dengan kecintaan dan kasih sayang Allah sebagai dasarnya sekaligus buahnya.
  2. Mengasuh anak dengan cinta dan kasih sayang yang ikhlas adalah perkara yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Maka barangsiapa mempraktekkannya berarti ia mengikuti suri teladan terbaik, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan barangsiapa yang mengikuti beliau, maka tanda bahwa ia mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya, karena Allah berfirman,
    قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imraan: 31).
    Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

    هذه الآية الكريمة حاكمة على كل من ادعى محبة الله ، وليس هو على الطريقة المحمدية فإنه كاذب في دعواه في نفس الأمر ، حتى يتبع الشرع المحمدي والدين النبوي في جميع أقواله وأحواله

    “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengklaim bahwa dirinya mencintai Allah, jika ia tidaklah berada di atas Sunnah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia berdusta dalam masalah tersebut hingga mengikuti Syari’at dan agama (yang dibawa) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh ucapan maupun perbuatannya”.

[Bersambung]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29129-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-4.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (3)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (3)

Renungkanlah

Dengan demikian, harapan punya anak yang sekedar lucu dan sehat, tidaklah cukup. Sekedar anak cerdas nan berprestasi duniawi juga belumlah cukup. Anak yang bergelar akademik tinggi dengan seabrek prestasi lomba ini dan itupun masih tidak cukup.

Barangkali kita pernah mendengar seorang anak yang semasa kecilnya berbadan sehat, lucu, dan sedap dipandang mata, lalu setelah orang tuanya susah payah mendidik sampai sang anak tumbuh besar dengan prestasi duniawi yang ‘wah’ dan sang ortu telah tua renta, tiba-tiba dengan berani sang anak berlaku kasar dan membentak orang tuanya dan melupakan jasa-jasanya bahkan mencampakkan ke panti jompo tanpa merasa bersalah.

Itu baru di dunia, akankah seabrek prestasi dan gelar sang anak itu  dapat membantu kedua orang tuanya menghadap Allah. Apalagi jika ditambah dengan malas mendoakan untuk kebaikan kedua orang tuanya1. Mari, semangat mendidik anak dalam bingkai ibadatullah yang terkandung dalam QS. Adz-Dzaariyaat: 56 menjadi cita-cita kita bersama. Sehingga terlahir sosok anak-anak yang berhasil dicintai dan diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala dan selamat dari api neraka. Inilah kesuksesan yang hakiki berumah tangga dan keberhasilan dalam mendidik anak, tatkala semua anggota keluarga selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS.At-Tahriim: 6).

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali Imraan:185).

Saya katakan, “Tinggal satu permasalahannya, yaitu akankah seorang anak bisa beribadah kepada Allah Ta’ala dan bisa menjadi sosok anak yang ucapan dan perbuatannya dicintai oleh-Nya tanpa mengetahui syari’at-Nya? Bukankah syari’at-Nya berisikan segala hal yang dicintai-Nya?”

Sayapun bertanya kepada anda, wahai ayah dan ibu. “Apakah Anda bisa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menjadi orang tua yang sukses tanpa tahu Syari’at-Nya?”

Ya, benar. Tak akan bisa orang tua menjadi sukses mendidik anak dan tidaklah bisa sang anak menjadi sholeh atau sholehah sampai mengetahui syari’at-Nya.

[bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

_____

Sumber: https://muslim.or.id/29111-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-3.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (2)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (2)

Tujuan Pendidikan Anak (Tarbiyyatul Aulad)

Ketika dua sejoli memadu kasih dengan ikatan nikah yang diungkapkan dalam Alquran sebagai mitsaaqan gholiizhan, maka terbayanglah cita-cita yang mulia menanti untuk diraih. Cita-cita yang tinggi dari pernikahan yang suci tentunya tidaklah sebatas untuk menyalurkan kebutuhan biologis sepasang anak manusia dengan cara yang halal. Namun di sana terdapat tujuan-tujuan besar lainnya, seperti menjaga kehormatan, memperbanyak jumlah orang-orang yang menyembah Allah semata, menjaga keberlangsungan keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam, dan selainnya.

Nah, salah satu tujuan mulia tersebut yang tentunya sangat diidam-idamkan kita bersama sebagai orang tua adalah terlahir dari rahim ibu-ibu muslimah generasi yang saleh dan salehah lagi mampu menjadi penyejuk pandangan kedua orang tuanya, bermanfaat bagi keduanya di dunia terlebih lagi di akhirat.

Berpikirlah sejenak, dan renungkanlah dengan hati yang bening jawaban pertanyaan berikut, “Bukankah anak saleh dan salehah adalah sosok anak yang memahami untuk apa mereka diciptakan di muka bumi ini?” Ya, anak saleh berarti anak yang berhasil meraih tujuan hidupnya. Kesanalah bermuara seluruh tujuan-tujuan pernikahan, kembali kepada tujuan hidup kita sebagai hamba Allah.

Oleh karena itu, jika ada yang bertanya apakah tujuan pendidikan anak dalam Islam? maka sebut saja sebuah jawaban sederhana namun universal cakupannya,

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)” (QS.Adz-Dzaariyaat: 56).

Adapun pada ayat ini, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia dengan tujuan agar mereka beribadah kepada-Nya saja, dan tidak menyekutukan-Nya. Tahukah anda,wahai orang tua, apakah ibadah itu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan ibadah dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah (hal. 4) sebagai berikut.

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah suatu kata yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang lahir (anggota tubuh yang nampak)”.

Jadi, tatkala seseorang berusaha dan berjuang keras agar setiap kata dan perbuatannya yang lahir maupun batin dicintai oleh Rabbnya, maka itulah profil seorang hamba yang sadar akan tujuan hidupnya, apapun kedudukan dan strata sosialnya. Dengan demikian, jika kita kembalikan kepada pertanyaan untuk apa kita mendidik anak.

Jawablah, “Agar mereka menjadi generasi penyembah Allah semata, generasi muwahhidiin muwahhidah yang seluruh ucapan dan perbuatan mereka dibingkai dan didasari dengan niat yang tulus untuk beribadah kepada Rabbul ‘Aalamiin. Agar setiap ucapan anakku dan setiap perbuatannya diridhai oleh-Nya. Agar batin dan lahir buah hatiku sesuai dengan keridhaan-Nya.”

[bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29097-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-2.html

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (1)

Sepuluh Bahasa Cinta Dalam Mendidik Anak (1)

Jadilah Orang Tua Betulan, Bukan Kebetulan Jadi Orang Tua

Setiap orang yang berpikir sehat tentunya sepakat bahwa mendidik anak itu perlu ilmu. Jangankan mendidik anak, hanya sekedar masak nasi pun butuh ilmu kan?

Apalagi mendidik anak yang diposisikan dalam jalur ibadah ini dan diharapkan menghasilkan amal-amal jariyah. Benarlah kata Imam Al-Bukhari rahimahullah, al-’ilmu qoblal qaul wal ‘amal.

Apabila kita telah sama-sama tahu bahwa mendidik anak itu sangat butuh ilmu, marilah kita bandingkan antara dua aktifitas keseharian kita, yaitu mendidik anak dan bekerja.

Banyak orang yang sangat antusias mempersiapkan diri untuk menjadi pegawai atau profesi tertentu yang menjadi cita-citanya semenjak duduk di SD. Tidak hanya sekedar kegiatan utama KBM di kelas, namun juga les privat dan kursus pun dijalani untuk sebuah persiapan itu, bahkan sampai kuliah gelar S3 bukan?

Hal itu berarti untuk urusan pekerjaan bagi banyak orang harus benar-benar menjadi ‘profesionalis betulan’ dan bukan ‘kebetulan profesional’ kan?

Namun…

Untuk urusan menjadi orang tua, sang pendidik anak, apakah banyak orang mempersiapkan diri seperti persiapan mereka untuk menjadi profesionalis? Bukankah urusan pekerjaan itu pada umumnya ada jam kerja yang terbatas beberapa jam saja? Adapun tugas menjadi orang tua dan mendidik anak tak terbatasi dengan ‘jam kerja’ bukan?

Tapi…

Lihatlah kenyataannya antara dua urusan tersebut, sungguh jauh berbeda. Banyak lho, lelaki yang menyandang gelar ‘bapak’, hanya karena istrinya melahirkan anak. Dan gak kalah banyaknya, wanita yang dijuluki ibu, hanya karena baru saja melahirkan sang jabang bayi.

Yang laki-laki adalah bapak ‘kebetulan’ , nah yang wanita adalah ibu ‘tak diprogram’. Kalau urusan pekerjaan, sampai harus melakukan standarisasi dan sertifikasi, namun jika urusan menjadi orang tua sang pendidik anak, cukuplah belajar sambil langsung magang atau learning by doing.

Ini mirip dengan prinsip muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga! Urusan mendidik anak, bukan asal punya uang sehingga bisa memasukkan sang anak ke sekolah unggulan. Boleh jadi, sekolahnya yang unggulan, namun lulusannya bisa saja bukan manusia unggulan. Terlalu banyak perkara yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Ustadzuna Abdullah Zaen, MA hafizhahullah mengatakan, “Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang” (Dinukil dan diolah dari : http://tunasilmu.com/jurus-jitu-mendidik-anak/).

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialposts]

Sumber: https://muslim.or.id/29083-sepuluh-bahasa-cinta-dalam-mendidik-anak-1.html

Tafsir Az-Zumar 38 (3) : Memutus Kesyirikan

Tafsir Az-Zumar 38 (3) : Memutus Kesyirikan

Faedah

Dalam ilmu Qawa’idut Tafsir terdapat sebuah kaidah,

إذا وقعت النكرة في سياق النفي أو النهي أو الشرط أو الاستفهام دلت على العموم

“Jika isim nakirah terletak pada konteks kalimat peniadaan, larangan, syarat, atau pertanyaan, maka menunjukkan makna yang umum”.

Jika kaidah ini diterapkan untuk memahami QS. Az-Zumar: 38, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh sesembahan selain Allah tidak akan mampu mendatangkan manfaat, menolak, maupun menghilangkan bahaya sedikit pun, apapun bentuk manfaat atau bahaya tersebut. Lalu, mengapa sesembahan-sesembahan tersebut disembah?

Berdalil dengan Ayat tentang Bantahan terhadap Syirik Akbar untuk Membantah Syirik Kecil

Dengan berbagai macam peribadatan yang kaum musyrikin persembahkan kepada selain Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka ayat ini merupakan bantahan bagi pelaku syirik akbar, namun mengapa ulama membawakannya untuk membantah syirik jimat (termasuk syirik kecil). Perlu diketahui bahwa cara berdalil seperti ini dikenal oleh Salafush Shaleh rahimahumullah, seperti cara berdalil yang pernah dilakukan oleh Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu.

Alasan pendalilan

Bagaimana alasan pendalilan QS. Az-Zumar: 38 untuk sebuah kesimpulan hukum bahwa memakai jimat itu adalah syirik?

Jawab:

1) Alasan Pendalilan (wajhud dalalah) Pertama

Ayat ini untuk membantah ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, sedangkan ketergantungan ini pun ada dalam hati pemakai jimat. Walau kadar ketergantungan hati pemakai jimat kepada jimatnya tidaklah sebesar ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan-sesembahan mereka, asalkan pemakai jimat tersebut meyakini bahwa jimat itu sekedar sebagai sebab saja (syirik kecil).

Jadi ayat ini menunjukkan batilnya ketergantungan hati kepada selain Allah. Jika ketergantungan hati kepada sebagian para nabi, rasul dan orang-orang saleh saja adalah sebuah kebatilan, maka lebih-lebih lagi ketergantungan hati kepada jimat, benda-benda mati, yang tidak bernyawa dan rendahan itu. Inilah pendalilan yang dalam ilmu Ushulul Fiqh disebut sebagai Qiyasul Aulawi , yaitu analogi penyangatan.

2) Alasan Pendalilan (wajhud dalalah) Kedua

Ayat ini untuk menetapkan bahwa sesembahan-sesembahan mereka selain Allah tidak kuasa menolak bahaya atau memberi manfaat, maka lebih-lebih lagi jimat, yang merupakan benda rendahan itu. Jimat lebih tidak bisa memberi manfaat atau menolak bahaya dan lebih tidak bisa pula menjadi sebab yang berpengaruh dalam didapatkannya manfaat atau tertolaknya bahaya. Maka ini bantahan kepada pemakai jimat, walaupun meyakininya sekedar sebagai sebab saja. Berarti alasan pendalilan yang kedua ini juga menggunakan qiyas/analogi.

3) Alasan Pendalilan (wajhud dalalah) Ketiga

Sesembahan-sesembahan selain Allah tersebut tidak kuasa menolak bahaya atau memberi manfaat, karena memang sesembahan-sesembahan tersebut bukanlah sebab untuk itu. Maka hal ini dapat dianalogikan kepada segala sesuatu yang tidak terbukti sebagai sebab, lalu diambil sebagai sebab, maka itu adalah sebuah kesyirikan. Dengan demikian, ayat ini merupakan bantahan bagi pemakai jimat yang terjerumus kedalam syirik kecil maupun pemakai jimat yang terjerumus kedalam syirik besar, karena memang ayat ini pada asalnya untuk membantah pelaku syirik besar. Adapun perbedaan antara memakai jimat yang masuk dalam kategori syirik kecil dan memakai jimat yang masuk dalam kategori syirik kecil lebih lanjut bisa dibaca di: muslim.or.id/26308-penjelasan-kitab-Tauhid-tentang-jimat-gelang-2.html

[Selesai]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

Anda sedang membaca: ” Tafsir Az-Zumar 38 “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:

Sumber: https://muslim.or.id/29321-tafsir-az-zumar-38-3-memutus-kesyirikan.html

Tafsir Az-Zumar 38 (2) : Memutus Kesyirikan

Tafsir Az-Zumar 38 (2) : Memutus Kesyirikan

Az-Zumar: 38 dan Mutiara Faedah yang Terkandung di Dalamnya

1. Firman Allah ﷻ berikut ini

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka menjawab Allah”.

Dalam petikan ayat di atas, Allah ﷻ mengabarkan tentang pengakuan orang-orang musyrik terhadap keesaan Allah dalam rubūbiyyah-Nya sebagai awal kalimat,

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Katakanlah (hai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik) terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah!”.

Allah ﷻ menyebutkan terlebih dahulu sesuatu yang disepakati oleh kaum musyrikin, yaitu kesepakatan bahwa Allah ﷻ sajalah satu-satunya Sang Pencipta langit dan bumi, meskipun kenyataannya mereka masih saja menyembah sesembahan selain-Nya, padahal bahaya dan manfaat tidak berada di tangan sesembahan selain-Nya tersebut!

Oleh karena itu, Allah ﷻ mengingkari perbuatan mereka dengan pertanyaan pengingkaran pada kalimat selanjutnya.

2. Firman Allah ﷻ berikut,

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Katakanlah (hai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik) terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah”.

Pada asalnya kalimat  أَفَرَأَيْتُمْ afara`aitum ‘terangkanlah’ mengandung pertanyaan tentang pandangan atau pikiran seseorang, sehingga artinya asalnya adalah apakah pandangan kalian, namun ulama menafsirkan dengan perintah untuk mengabarkan atau menyampaikan pandangan tersebut, sehingga diartikan dengan terangkanlah kepadaku.

Dalam ilmu Uṣūl Tafsīr, ini dinamakan Tafsīr bil-lāzim, yaitu menafsirkan dengan sesuatu yang menjadi makna asalnya, karena barangsiapa yang memiliki pandangan, maka akan mengabarkan atau menyampaikan pandangannya tersebut.

Dan huruf hamzah dalam ayat ini adalah hamzah lil`istifhā(untuk bertanya), sedangkan jenis pertanyaan di sini adalah pertanyaan pengingkaran (Istifhām Inkarī), maksudnya adalah:

apakah pantas kalian mengakui bahwa Allah Esa dalam Rubūbiyyah-Nya, namun kenyataannya, kalian menyembah selain-Nya?

Inilah salah satu metode yang agung dalam Alquran, yaitu berhujjah dengan pengakuan kaum musyrikin terhadap Tauhid Rubūbiyyah untuk mengingkari kesyirikan mereka dalam Ulūhiyyah.

3. Firman Allah ﷻ,

مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ

“apa yang kalian sembah selain Allah”.

Kata مَا  mā di sini adalah ism mauṣūdengan makna allaż‘yang’ menunjukkan makna umum, mencakup seluruh sesembahan selain Allah yang mereka sembah, yaitu sebagian para nabi, rasul dan orang-orang saleh (QS. Al-Mā`idah: 116), malaikat (QS. Saba`: 40-41), kuburan, bintang, matahari, bulan, pohon, batu, patung, berhala, dan seluruh sesembahan selain Allah.

Sedangkan kata تَدْعُونَ tad’ ūna maksudnya adalah doa masalah (berdoa) sekaligus doa ibadah (beribadah selain berdoa), sehingga diartikan kalian sembah, karena kata menyembah itu umum cakupannya. Memang demikianlah keadaan orang-orang musyrik, mereka ini melakukan kesyirikan dalam ibadah doa, maupun ibadah-ibadah selainnya, seperti nazar, menyembelih hewan korban, dan sujud.

Dengan demikian dalam ayat ini terdapat dua keumuman, yaitu:

  1. Keumuman sesembahan selain Allah.
  2. Keumuman bentuk peribadahan yang ditujukan kepada selain Allah.

Oleh karenanya, di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi seluruh macam kesyirikan dalam peribadahan.

4. Firman Allah ﷻ,

إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ

“Jika Allah hendak mendatangkan keburukan kepadaku, apakah sesembahan-sesembahan itu dapat menghilangkan keburukan itu? atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya?”.

Pada petikan ayat di atas, terdapat ism nakirah ضُرّ ḍurrun ‘keburukan’ yang mencakup seluruh keburukan. Pada petikan ayat di atas juga terdapat ism nakirah رَحْمَةٌ  yang menunjukkan segala bentuk rahmat Allah, di dunia dan akhirat. Pada ayat di atas juga terdapat kata tanya هَلْ hal ‘apakah’ yang berfungsi untuk memeberi penjelasan dan penekanan apakah benar sesembahan selain Allah mampu mendatangkan kebaikan dan menolak atau menghilangkan bahaya.

[bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

Anda sedang membaca: ” Tafsir Az-Zumar 38 “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:

Sumber: https://muslim.or.id/28854-tafsir-az-zumar-38-2-memutus-kesyirikan.html