Kajian “Karena Maksiat Kita Terhina” bersama Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA
Di Masjid Islamic Center Baitul Muhsinin
Silahkan matikan (Stop) streaming radio di sebelah kanan, agar suara tidak bertabrakan
Sesi 1
Sesi 2
Sesi 3
Rekaman kajian dalam bentuk video di ICBM & di lingkungan sekitar ICBM
Kajian “Karena Maksiat Kita Terhina” bersama Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA
Di Masjid Islamic Center Baitul Muhsinin
Silahkan matikan (Stop) streaming radio di sebelah kanan, agar suara tidak bertabrakan
Sesi 1
Sesi 2
Sesi 3
Kajian Faedah Surat Fushilat 21-37 & dilanjutkan Kajian Kitab Addaa’waddawaa’, pembahasan
bab : Maksiat memutuskan hubungan seseorang hamba dengan Rabbnya
Di Masjid Islamic Center Baitul Muhsinin
Silahkan matikan (Stop) streaming radio di sebelah kanan, agar suara tidak bertabrakan
Kajian Tematik Husnul Khuluq “Perilaku Yang Baik” bersama Ustadz Muslam Abu Zaenab
Di Masjid Islamic Center Baitul Muhsinin
Silahkan matikan (Stop) streaming radio di sebelah kanan, agar suara tidak bertabrakan
Rekaman Kajian Kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’ (Penyakit Hati dan Obatnya)
Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA – Insya Allah setiap Jum’at ba’da Ashar – 17.00 WIB.
Di Masjid Islamic Center Baitul Muhsinin
Silahkan matikan (Stop) streaming radio di sebelah kanan, agar suara tidak bertabrakan
============================================
Memetik Obat Mujarab dari Kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’
============================================
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah juga menurunkan penawarnya.” [H.R. Al-Bukhari]
Demikianlah makna dari sebuah hadis yang agung. Hadis yang menggambarkan bahwa segala penyakit di muka bumi ini sudah pasti ada penawarnya. Hanya saja, tidak semua manusia tahu cara mengobatinya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah, Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub (lahir 691 H, wafat 751 H), pun meyakini hal ini. Memang, beliau adalah seorang ahli kedokteran waktu itu. Tapi tak hanya penyakit lahiriah, beliau pun sangat mahir dalam urusan penyakit kalbu. Kitab Ad-Da’ wad Dawa’ –yang artinya “penyakit dan obat”- ini menjadi sebuah bukti akan kepiawaian beliau dalam urusan dua jenis penyakit itu. Terbukti, kitab monumental ini menjadi rujukan para ulama dalam berbagai sisinya.
MENJAWAB SEBUAH TANYA
Kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’ memiliki nama lain. Nama lainnya adalah Al-Jawabul Kafi liman Sa’ala ‘anid Dawa’ Asy-Syafi (Jawaban yang cukup bagi yang bertanya tentang obat penyembuh), sering disingkat menjadi Al-Jawabul Kafi.
Judul yang kedua ini menyiratkan latar belakang penulisan kitab besar ini. Memang, beliau menuliskan kitab ini sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Pertanyaan tersebut, “Apa yang Anda katakan mengenai orang yang diuji dengan sebuah cobaan. Dia tahu, jika cobaan ini terus menderanya, akan merusak dunia akhiratnya. Dia sudah bersungguh-sungguh untuk menolaknya dengan segala cara. Namun, itu justru menambah berkobar dan bertambah parah. Bagaimana cara untuk mengusirnya? Bagaimana cara untuk menyingkapnya? Semoga Allah berkenan untuk merahmati orang yang menolong si sakit. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya. Berilah fatwa kepada kami, semoga Allah memberi Anda pahala.”
Ya, itulah pendorong Sang Imam untuk menggoreskan penanya, memberikan pencerahan kepada si peminta fatwa. Lalu beliau pun menuliskan secara panjang lebar segala hal yang berkaitan dengan penyakit ini. Karena penyakit ini bukan penyakit biasa. Penyakit syahwat adalah penyakit mematikan. Tidak hanya jasad, bahkan kalbu pun juga ikut mati. Kalau yang mati hanya jasad, risikonya hanya kehidupan dunia. Tapi jika yang mati adalah kalbunya, di akhirat pun dia sengsara. Sehingga, penyakit syahwat bukan penyakit biasa. Dunia akhirat menjadi taruhannya.
Demikianlah, Ibnul Qayyim rahimahullah pun membimbing si sakit ini dengan tarbiyah nabawiyah, bimbingan yang bersumber dari jernihnya mata air Al-Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan begitulah, bimbingan dari ulama yang mumpuni memang sangat dibutuhkan. Layaknya obat harus tepat dosisnya, Al-Quran dan sunnah juga harus tepat kadarnya. Tak ada yang mengetahui kadar yang pas itu kecuali ulama yang membidanginya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengawali arahannya dengan sebuah obat yang sangat mujarab. Obat yang tidak hanya manjur untuk penyakit lahiriah. Penyakit batin pun tak ketinggalan. Tak hanya penyakit ringan yang bisa ditanggulangi. Penyakit kronis dan parah pun bisa hilang tak berbekas. Bahkan tak jarang, obat ini memiliki reaksi lebih cepat daripada obat biasa. Memang obat ini luar biasa. Doa. Namun tidak sembarang doa dikabulkan oleh Yang Mahakuasa. Ada syarat-syarat dan ketentuan agar doa menjadi manjur mujarab. Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkannya dalam kitab ini.
Lalu, beliau pun masuk pada cara pengobatan secara spesifik. Beliau mengatakan, mengobati hal ini harus dari dua jalan: memutus sebab terjadinya, dan mencabut penyakit setelah terjadi. Keduanya harus dijalankan demi suksesnya penyembuhan si sakit.
Memutus sebab terjadinya bisa dilaksanakan dari tiga sisi:
Ghadhdhul bashar, merendahkan pandangan, tidak melihat apa yang menariknya kepada kubangan penyakit syahwat itu.
Menyibukkan hati dengan cinta hakiki. Karena, jatuh hati kepada syahwat bisa terjadi saat hati itu kosong. Belum ada cinta yang bersemi indah di hatinya. Saat itulah, cinta syahwat pun menguasai dirinya. Tidak akan hilang cinta syahwat itu hingga datang cinta yang lebih dahsyat lagi. Maka dari itu, dia tidak akan selamat jika tidak mengambil langkah untuk mencintai Dzat yang Maha Pengasih.
Menjaga bersitan hati. Memang ini sulit. Namun inilah permulaan kebaikan dan kejelekan. Jika bersitan hati terkendali, anggota badan pun aman terkendali.
Ketiga hal ini harus dilakukan jika ingin sembuh dari penyakit ini. Usaha menghilangkan penyakit sekuat apa pun tidak akan berarti jika sebab terjadinya penyakit tidak dipatahkan. Namun tidak hanya mereka yang sudah terkena penyakit, yang masih sehat wal afiat dan tetap ingin seperti itu juga wajib melaksanakan semua ini.
Beliau juga memberikan sebuah contoh kasus penyakit syahwat yang berhasil ditanggulangi. Kasus ini telah Allah subhanahu wa ta’ala abadikan di dalam Kitab-Nya. Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, sang pemuda tampan yang digoda oleh wanita jelita nan memikat. Beliau berhasil menundukkan syahwatnya. Karena qalbu beliau telah terisi cinta kepada Sang Khalik dengan keyakinan dan iman. Beliau juga memiliki kesabaran yang tinggi. Keyakinan dan kesabaran inilah, kunci keberhasilan seseorang untuk menjadi panutan.
Di sisi lain, Ibnul Qayyim rahimahullah juga menyampaikan jenis penyakit syahwat lainnya. Luthiyah, penyakit kaum Nabi Luth, homoseksual. Yang mana, penyakit ini lebih berbahaya daripada yang pertama.
Yang jelas, banyak sekali faedah yang bisa dipetik dari kitab yang monumental ini. Sarat kandungan hakikat-hakikat ilmu, serta penjelasan tentang introspeksi dan muraqabah jiwa. Tidak sepantasnya seorang penuntut ilmu untuk tidak membaca kitab ini.
Karena itulah –Lajnah Ad-Daimah, yang waktu itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah- ketika seorang pemuda meminta nasihat buku bacaan yang tepat untuknya, maka Lajnah pun (fatwa no. 5253) merekomendasikan di antaranya adalah kitab Ad-Da’u wa Ad-Dawa’.
Begitulah pembaca, kitab ini memang mencerminkan luas dan dalamnya ilmu yang dimiliki Sang Imam. Untuk sekadar kembali mengingat biografi Ibnul Qayyim rahimahullah, silakan pembaca merujuk ke Majalah Qudwah edisi 8. Rahimahullah rahmatan wasi’atan, semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas.
(sumber: ismailibnuisa.blogspot.co.id/…/memetik-obat-mujarab-dari-ki…)
Sering kita mendengar istilah “Nuzulul Qurān” di negeri kita yang tercinta ini. Peringatan yang pasti dikaitkan pada tanggal 17 Ramadhān sehingga dimana-mana marak peringatan Nuzulul Qurān.
Apakah memang Al-Qurān turun pada tanggal 17 Ramadhān?
Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan tentang turunnya Al-Qurān sebagaimana dalam beberapa ayat dalam Al-Qurān. Allāh mengatakan:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
“Bulan Ramadhān adalah bulan yang Allāh turunkan di dalamnya Al-Qurān Al-Karīm yang menjadi petunjuk dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dan pemisah/pembeda antara yang haq dengan yang bathil.” (Al-Baqarah 185)
Ayat ini secara jelas menyebutkan tentang diturunkannya Al-Qurān Al-Karīm pada bulan Ramadhān, akan tetapi apakah Al-Qurān diturunkan pada tanggal 17 Ramadhān?
Maka para ulama telah membahas pembahasan yang variatif dan TIDAK ADA kesepakatan para ulama bahwasanya Al-Qurān diturunkan pada tanggal 17 Ramadhān.
Bahkan sebagaimana telah masyhur dalam pembahasan para ulama, turunnya Al-Qurān dikenal dengan nama Lailatul Qadr, sedangkan Lailatul Qadr ada di 10 malam di akhir bulan Ramadhān, berarti tanggal 20 Ramadhān ke atas.
Dan bahkan ditegaskan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam khususnya pada malam-malam ganjil ketika seseorang berusaha mencari malam Lailatul Qadr.
Ini menunjukkan bahwa para ulama menjelaskan turunnya Al-Qurān oleh Allāh BUKAN pada tanggal 17 Ramadhān.
Kemudian seandainya kita telah yakin Al-Qurān diturunkan pada bulan Ramadhān, adakah para salaf memperingati turunnya Al-Qurān?
Tidak ada riwayat bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memperingati turunnya Al-Qurān, demikian juga para salaf, para shahābat, para imam kaum muslimin (madzhab yang empat), walaupun dalam keyakinan mereka sangat yakin bahwasanya Al-Qurān turun pada bulan Ramadhān.
Dan bagaimana para salaf kita berinteraksi dengan Al-Qurān pada bulan Ramadhān?
Itulah bentuk sesungguhnya mereka dalam bermuamalah atau memperingati turunnya Al-Qurān Al-Karīm.
Mungkin kita pernah mendengar bagaimana interaksi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan Al-Qurān dalam bulan Ramadhān. Diriwayatkan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Jibrīl menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al-Qurān.”(HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā)
Sehingga disini bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dimalam-malam bulan Ramadhān selalu melakukan tadarrus Al-Qurān dengan Jibrīl.
Dan diriwayatkan pula bagaimana Nabi ketika shalat qiyamul lail, pernah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam 1 raka’at shalat yang Beliau baca adalah surat Al-Baqarah. Maka dikira shahābat pada ayat ke-100 akan ruku’ tetapi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lanjut sampai akhir surat Al-Baqarah. Lalu dikira akan ruku’ tetapi lanjut lagi sampai surat Āli ‘Imrān lalu lanjut ke An-Nisā. Kita tahu bahwa 3 surat ini sama dengam 5 juz lebih. Itu hanya dalam 1 raka’at yang dibaca oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. (HR. Ahmad, dan Al Hakim, dari shahābat Hudzaifah)
Dan begitulah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memperingati turunnya Al-Qurān dengan membaca Al-Qurān diluar dan didalam shalat.
Para salaf, mereka biasa mengkhatamkan Al-Qurān diluar Ramadhān ada yang 10 hari atau sepekan. Akan tetapi didalam bulan Ramadhān ada yang mengkhatamkan Al-Qurān 3 hari sekali. Apalagi ketika sudah masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhān, ada yang 2 hari sekali, bahkan ada yang setiap hari.
Dan konon ada riwayat yang dinukil oleh para ulama, Al-Imām Syāfi’ī rahimahullāh Ta’āla berinteraksi dengan Al-Qurān mengkhatamkan Al-Qurān selama Ramadhān 60 kali, seandainya Ramadhān 30 hari malam rata-rata beliau mengkhatamkan Al-Qurān 2 kali.
Begitulah para salaf kita mengagungkan Al-Qurān, begitulah para salaf kita memperingati turunnya Al-Qurān.
Dan sangat berbeda caranya dengan kita memperingati turunnya Al-Qurān. Sebagian kita mengadakan pesta disertai nyanyian, qasidah, hura-hura, hingar bingar.
Adapun para salaf memperingati turunnya Al-Qurān dengan membaca, mentadabbur, memperbanyak membaca Al-Qurān didalam dan diluar shalat, sehingga sangat layak kita mencontoh mereka.
Semoga Allāh memudahkan kita untuk berinteraksi dengan Al-Qurān dan diringankan dalam membaca serta mentadabburi Al-Qurān dibulan yang sangat mulia, yang secara umum Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan dalam sebuah hadits:
Dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd radhiyallāhu ‘anhu berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول الم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف ” .
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullāh, maka dia akan mendapatkan kebaikan. Dan satu kebaikan dilipatkan sepuluh kali. Saya tidak mengatakan Alif Lam Mim, satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi 2910 dishahihkan Al-Albany di shāhih Tirmidzi, 2327.
Mudah-mudahan Allāh memberi taufiq kepada kita untuk meniti dan meniru jejak para salaf dan dalam berinteraksi dengan Al-Qurān khususnya di bulan Ramadhān yang sangat mulia ini.
👤 Ust. Afifi ‘Abdul Wadūd
📺 Sumber: http://yufid.tv/tausiyah-ramadhan-16-nuzulul-quran-ustadz-…/