10 Kiat Istiqomah (7)

10 Kiat Istiqomah (7)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (7)

Kiat Keempat

“Istiqomah yang tertuntut adalah beribadah kepada Allah sesuai dengan sunah, apabila tidak mampu maka mendekatinya”

Agar seseorang bisa istiqomah, maka perlu memperhatikan dua perkara:

Pertama: Beribadah dan taat kepada Allah Ta’ala, serta beramal shaleh sesuai dengan sunah (syariat Islam).

Kedua: Apabila tidak mampu, maka mendekati sunah (syariat Islam).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama (Islam) ini mudah, dan tidaklah seseorang memperberat diri dalam beragama Islam kecuali ia akan terkalahkan (sendiri), maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah!” (HR. Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan makna

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama ini mudah” dengan mengatakan:

ميسر مسهل في عقائده وأخلاقه وأعماله ، وفي أفعاله وتُروكه

“(Agama Islam) ini mudah, lagi gampang, baik dalam akidah, akhlak, amal, dalam melakukan (perintah) maupun dalam sikap meninggalkan (larangan)”.

Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukharibeliau menyatakan:

والمعنى لا يتعمق أحد في الأعمال الدينية ويترك الرفق إلا عجز وانقطع فيغلب

“Maksudnya adalah tidaklah seseorang berlebihan dalam mengamalkan agama (Islam) dan meninggalkan sikap pertengahan kecuali ia akan tak mampu dan terputus (amalannya), lalu kalah!”

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَسَدِّدُوا

“Maka bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah)”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan:

أي الزموا السداد وهو الصواب من غير إفراط ولا تفريط ، قال أهل اللغة السداد التوسط في العمل

“Maksudnya: tetaplah lurus (As-Sadad), yaitu benar tanpa melampui batasan (syariat) dan tanpa menguranginya. Ahli bahasa Arab berkata: As-Sadad adalah tengah-tengah dalam beramal”.

Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah menjelaskan makna  As-Sadad dengan mengatakan:

والسَّدادُ أن تصيبَ السُّنَّة

As-Sadad adalah anda (beramal) sesuai dengan sunah (syariat Islam).”

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam juga menjelaskan makna  As-Sadad:

فالسَّداد هو حقيقةُ الاستقامةِ ، وهو الإصابةُ في جميعِ الأقوالِ والأعمالِ والمقاصدِ كالَّذي يَرمي إلى غرضٍ فيصيبُه

As-Sadad adalah hakekat dari istiqomah, yaitu: benar dalam seluruh ucapan, perbuatan dan niat. Ibarat orang yang membidik suatu sasaran lalu tepat (bidikannya) mengenai sasaran tersebut”.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَقَارِبُوا

Dan mendekatilah

dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

أي إن لم تستطيعوا الأخذ بالأكمل فاعملوا بما يقرب منه

“Maksudnya: apabila kalian tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, maka lakukan amalan yang mendekatinya”.

Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan makna “mendekati  (muqarabah)”:

والمقارَبة أن يُصيب ما يقرُب منَ الغَرض إنْ لم يُصِب الغَرَض نفسَه

“Mendekati adalah anda melakukan (amalan) mendekati tujuan (sunah), meski tidak tepat sesuai dengan tujuannya (sunah)”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَأَبْشِرُوا

“Serta bergembiralah!”,

أي بالثواب على العمل الدائم وإن قل ، والمراد تبشير من عجز عن العمل بالأكمل بأن العجز إذا لم يكن من صنيعه لا يستلزم نقص أجره

“Maksudnya: bergembiralah dengan pahala atas amalan yang senantiasa terjaga meskipun amalan tersebut sedikit. Maksud perintah bergembira di sini adalah bergembira saat tidak mampu melakukan amalan yang paling sempurna, bahwa ketidakmampuan itu jika bukan karena kesengajaan untuk meninggalkan (amalan paling sempurna), maka tidak berkonsekuensi berkurangnya pahalanya.”

Daftar link artikel ini:

  1. 10 Kiat Istiqamah (1)
  2. 10 Kiat Istiqamah (2)
  3. 10 Kiat Istiqamah (3)
  4. 10 Kiat Istiqamah (4)
  5. 10 Kiat Istiqamah (5)
  6. 10 Kiat Istiqamah (6)
  7. 10 Kiat Istiqamah (6)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

 

 

Sumber: https://muslim.or.id/32443-10-kiat-istiqomah-7.html

Bertaubat, Sebab Dikabulkan Doa (3)

Bertaubat, Sebab Dikabulkan Doa (3)

Baca pembahasan sebelumnya Bertaubat, Sebab Dikabulkan Doa (2)

Solusi Al-Hasan Al-Bashri terhadap Tiga Macam Kesulitan

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ada seseorang mengeluhkan kekeringan kepada Al-Hasan Al-Bashri. Lalu Al-Hasan menasehatinya, “Beristighfarlah kepada Allah!”

Orang yang lainpun mengeluhkan masalah kefakiran.  Al-Hasan pun menasehatinya, “Beristighfarlah kepada Allah!”

Orang yang ketiga meminta (kepada beliau), “Berdoalah kepada Allah (untukku) agar Allah memberi rezeki anak kepadaku!”

Al-Hasan mengatakan kepadanya, “Beristighfarlah kepada Allah!”

Maka kamipun menanyakan kepada beliau tentang jawabannya tersebut, Al-Hasan pun mengatakan, “Saya tidak mengucapkan jawaban tersebut dari pikiranku sendiri!” Sesungguhnya Allah Ta’ala  berfirman dalam surat Nuh (ayat 10-12).

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

(10) Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,

يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

(11) Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat,

وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

(12) Serta memperbanyak harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun untuk kalian, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untuk kalian.

Tafsir Surat Nuh ayat ke 10-12

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat-ayat tersebut di atas,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ

(10) maka aku katakan kepada mereka, Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian,

“Maksudnya tinggalkan dosa-dosa yang ada pada diri kalian, dan beristighfarlah kepada Allah dari dosa-dosa tersebut!”

إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,

“(Dia) banyak ampunan-(Nya) bagi orang yang bertaubat dan beristighfar. Kemudian Allah memberi kabar gembira (kepada orang tersebut) berupa ampunan dosa, dan buah ampunan berupa didapatkannya pahala, dan terhindarnya dari siksa. Disamping itu, Allah juga memberi kabar gembira berupa kebaikan dunia yang disegerakan, Allah berfirman,

يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

(11) Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat,

“Maksudnya hujan terus menerus yang mengairi lembah dan dataran rendah, dan menyebabkan hidupnya negeri dan penduduknya!”

وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ

(12) dan memperbanyak harta dan anak-anak kalian,

“Maksudnya Dia memperbanyak harta-harta kalian yang dengannya kalian memenuhi kebutuhan duniawi, dan (Dia memperbanyak) anak-anak kalian”

وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Serta mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untuk kalian.

“Ini termasuk kelezatan dan harapan dunia yang paling dicari!”

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat-ayat di atas,

أي : إذا تبتم إلى الله واستغفرتموه وأطعتموه ، كثر الرزق عليكم ، وأسقاكم من بركات السماء ، وأنبت لكم من بركات الأرض ، وأنبت لكم الزرع ، وأدر لكم الضرع ، وأمدكم بأموال وبنين ، أي : أعطاكم الأموال والأولاد ، وجعل لكم جنات فيها أنواع الثمار ، وخللها بالأنهار الجارية بينها

“Maksudnya apabila kalian bertaubat kepada Allah dan kalian beristighfar kepada-Nya, maka Dia akan memperbanyak rezeki kalian, memberi air hujan kepada kalian dari keberkahan di langit, menumbuhkan keberkahan di bumi dan tanaman, serta memperbanyak susu, harta dan anak-anak untuk kalian -maksudnya, Dia anugerahkan kepada kalian harta dan anak-anak- Dia jadikan kebun-kebun yang terdapat di dalamnya berbagai macam buah untuk kalian, serta Dia selingi di antara kebun-kebun tersebut sungai yang (airnya) mengalir.”

Demikianlah pentingnya bertaubat dan beristighfar kepada Allah Ta’ala sebelum memohon kepada Allah Ta’ala dalam berdoa, karena hal itu merupakan salah satu sebab dikabulkan doa.

Wallahu a’lam.

(Diringkas dari kitab: Fiqhul Ad’iya` wal Adzkar, Syaikh Abdur Razzaq, hal. 161-163).

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/32310-bertaubat-sebab-dikabulkan-doa-3.html

10 Kiat Istiqomah (6)

10 Kiat Istiqomah (6)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (5)

(Lanjutan kaedah ketiga)

Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam mukadimah kitabnya Ighatsatul Lahfan:

ولما كان القلبُ لهذه الأعضاء كالملِكِ المتصرِّف في الجنُود الَّذي تصدُرُ كلُّها عن أمرِه، ويستعمِلُها فيما شاءَ، فكلُّها تحتَ عبوديتِه وقهرِه وتكتسِبُ منه الاستقامَةَ والزَّيغ، وتَتْبَعه فيما يعقِدُه من العَزم أو يحلُّه، قال النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم : «أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ»،هو مَلِكُها وهيَ المنفِّذَة لمَا يأمرُها به، القابلةُ لِمَا يأتِيها منْ هَديَّتِه، ولا يستقيمُ لها شيءٌ مِنْ أعمالها حتَّى تَصدُرَ عن قَصدِه ونيتِه، وهو المسئُول عنها كلِّها

“Tatkala hati kedudukannya bagi badan seperti raja yang berkuasa mengatur pasukannya, semua (pergerakkan)nya berasal dari perintahnya dan sang raja menggerakkannya sesuai dengan kehendaknya maka semua (anggota badan) di bawah pengaturan (hati) dan kekuasaannya. Dari (hati) inilah dihasilkan kelurusan dan penyimpangan. Badan mengikuti tekad kuat hati atau mengikuti sesuatu yang tidak dikehendaki oleh hati. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ , وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati.Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggungjawab atas seluruh (amalan badan)”.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat (QS. Asy-Syu’araa`:88-89).

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan dua ayat di atas di dalam kitab tafsir beliau,

Firman Allah:

{يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ}

Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,

maksudnya adalah harta seseorang tidaklah bisa melindunginya dari azab Allah walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.

{وَلَا بَنُونَ}

dan anak-anak laki-laki”,

maksudnya adalah meskipun ditebus dengan semua anak-anak laki-laki yang ada di muka bumi.

Pada hari itu, tidaklah bermanfaat kecuali keimanan kepada Allah, memurnikan ketaatan untuk-Nya semata (ikhlas) dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Oleh karena itu, Allah berfirman:

{إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”,

maksudnya: selamat dari kotoran (dosa) dan kesyirikan.”

Diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ قَلْباً سَلِيمًا

Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu hati yang selamat” (H.R. Ahmad dan An-Nasa`i, Lihat: Ash-Shahihah: 2328).

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. 10 Kiat Istiqamah (1)
  2. 10 Kiat Istiqamah (2)
  3. 10 Kiat Istiqamah (3)
  4. 10 Kiat Istiqamah (4)
  5. 10 Kiat Istiqamah (5)
  6. 10 Kiat Istiqamah (6)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/32382-10-kiat-istiqomah-6.html

10 Kiat Istiqamah (5)

10 Kiat Istiqamah (5)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (4)

  1. Ahli Tafsir di kalangan tabi’in, Qatadah rahimahullah menafsirkan ayat,

ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“…kemudian mereka istiqamah…”

استقاموا على طاعة الله

“Mereka istiqamah di atas ketaatan kepada Allah.”

 

Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat yang dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

استقامُوا على أداءِ فرائضِه

“Mereka istiqamah di atas penunaian kewajiban-kewajiban dari Allah.”

Ibnu Rajab rahimahullah mendefinisikan istiqamah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,

الاستقامة : هي سلوك الطريق المستقيم، وهو الدين القويم من غير تعويج عنه يمنة و لا يسرة، و يشمل ذلك فعل الطاعات كلها الظاهرة و الباطنة و ترك المنهيات كلها كذلك

“Istiqamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama (Islam) yang lurus, tak bengkok ke kanan dan ke kiri, dan mencakup pelaksanaan semua ketaatan, baik yang zhahir maupun batin, dan menghindari semua larangan-larangan (Allah).”

Beberapa tafsir tentang istiqamah tersebut di atas berdekatan maknanya dan saling menafsirkan satu sama lainnya. Karena istiqamah adalah sebuah kata yang mencakup seluruh ajaran dalam Islam.

Oleh karena itulah Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan hal itu dalam ucapannya,

فالاستقامةُ كلمة جامعةٌ آخذةٌ بمَجامِع الدِّينِ ؛ وهي القيامُ بينَ يدي الله على حقيقةِ الصِّدقِ والوَفاء بالعهدِ

“Jadi, istiqamah adalah kata yang mencakup ajaran-ajaran agama (Islam) ini, yaitu (melakukan perjalanan hidup) menuju kepada Allah dengan benar-benar jujur dan memenuhi perjanjian.”

KIAT KETIGA “Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati”

Dasar istiqamah dan pondasinya adalah keistiqamahan hati, maka barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka ia akan baik ucapan dan perbuatan anggota tubuh lahiriyyahnya. Dalam sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ

Tidak akan istiqamah (lurus) keimanan seorang hamba sampai istiqamah (lurus) hati-Nya.

 

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

فأصلُ الاستقامةِ استقامةُ القلب على التَّوحيد، كما فسَّر أبو بكر الصِّدِّيق وغيرُه قولَه {إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا} بأنَّهم لم يلتفتوا إلى غيره ، فمتَى استقامَ القلبُ على معرفةِ الله، وعلى خشيتِه، وإجلاله، ومهابتِه، ومحبَّتِه، وإرادته، ورجائه، ودعائه، والتوكُّلِ عليه، والإعراض عمَّا سواه، استقامَت الجوارحُ كلُّها على طاعتِه، فإنَّ القلبَ هو ملِكُ الأعضاء وهي جنودهُ ؛ فإذا استقامَ الملِكُ استقامَت جنودُه ورعاياه.

“Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati di atas tauhid, sebagaimana Abu Bakr Ash-Shiddiq dan selainnya menafsirkan firman Allah,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah (mereka tidak berpaling kepada selain-Nya). Selama hati (seseorang) lurus di atas  ma’rifatullah, takut kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuliakan-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, mengharapkan-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya, maka luruslah anggota tubuh seluruhnya di atas ketaatan kepada-Nya, karena sesungguhnya hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh adalah pasukannya. Apabila raja itu lurus, maka lurus pula pasukannya dan rakyatnya.”

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. 10 Kiat Istiqamah (1)
  2. 10 Kiat Istiqamah (2)
  3. 10 Kiat Istiqamah (3)
  4. 10 Kiat Istiqamah (4)
  5. 10 Kiat Istiqamah (5)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/32376-10-kiat-istiqamah-5.html

10 Kiat Istiqamah (4)

10 Kiat Istiqamah (4)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (3)

Doa yang Paling Manfaat

Para ulama mengingatkan hendaklah kita menyadari bahwa suatu ucapan dalam shalat yang berbunyi

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus

adalah sebuah doa yang Allah Ta’ala wajibkan bagi kita untuk diulang-ulang sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam, yaitu sebanyak jumlah rakaat shalat wajib lima waktu dalam sehari semalam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

تأملت أنفع الدعاء فإذا هو سؤال العون على مرضاته ، ثم رأيته في الفاتحة في {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Saya perhatikan doa yang paling bermanfaat, maka (saya dapatkan) berupa permohonan pertolongan untuk meraih ridha-Nya, kemudian saya mendapatkan doa tersebut terdapat dalam surat Al-Faatihah pada ayat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).”

Kiat Kedua

Hakikat istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).

Agar kita dapat memahami istiqamah dengan baik, maka kita perlu mengenal beberapa perkataan sahabat dan tabi’in dalam menjelaskan makna istiqamah. Berikut ini beberapa nukilan dari Salafush Shalih rahimahumullah.

  1. Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu menjelaskan firman Allah Ta’ala

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah.”

sebagai berikut.

هُم الَّذين لم يُشركوا بالله شيئًا

“Orang-orang yang istiqamah adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”

Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa dasar istiqamah dan intinya adalah tauhid, mengesakan Allah Ta’alaBarangsiapa yang benar-benar mengesakan Allah Ta’alamaka ia akan menunaikan hak dan kesempurnaan tauhid, yaitu taat kepada Allah dengan meniti jalan-Nya yang lurus.

  1. Pakar Tafsir di kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat berikut

ثُمَّ اسْتَقَامُوا

“…kemudian mereka istiqamah…”

sesuai dengan tafsiran Abu Bakar Ah-Shidddiq radhiyallahu ‘anhu di atas. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan ayat tersebut.

على شهادة أن لا إله إلَّا الله

“(Mereka istiqamah) di atas syahadat tiada Sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah”

  1. Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa tatkala beliau di atas mimbar, beliaupun membaca ayat

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka istiqamah.”

dengan tafsiran berikut.

لم يَرُوغوا رَوَغان الثَّعلب

“Mereka tidak berjalan ke kanan dan ke kiri sebagaimana berjalannya musang.”

 

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa orang-orang yang istiqamah adalah orang-orang yang berjalan lurus, meniti jalan Allah, Ash-Shirath Al-Mustaqim.

Tafsiran istiqamah seperti inilah yang disimpulkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, sebagaimana akan disebutkan setelah ini, in syaallah.

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. 10 Kiat Istiqamah (1)
  2. 10 Kiat Istiqamah (2)
  3. 10 Kiat Istiqamah (3)
  4. 10 Kiat Istiqamah (4)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/32372-10-kiat-istiqamah-4.html

Modal Dasar Berdoa pada Allah (9)

Modal Dasar Berdoa pada Allah (9)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (8)

Kebutuhan seorang hamba untuk beribadah kepada Allah Ta’ala lebih besar daripada kebutuhan jasadnya terhadap ruh!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawanya, dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Thariqul Hijratainnya menjelaskan bahwa sesungguhnya kebutuhan seorang hamba untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, tidak menyekutukan-Nya, baik dalam mencintai-Nya, takut kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, merendahkan diri kepada-Nya, mengagungkan-Nya dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya terhadap ruh, dan kebutuhan matanya kepada cahaya, bahkan tak ada kebutuhan lain yang setara dengan kebutuhan beribadah tersebut!

Seorang hamba haruslah mempertuhankan Allah Ta’ala, satu-satunya Sesembahan yang hak (benar) dalam setiap keadaannya, setiap waktunya, setiap nafasnya dan setiap kedipan matanya!

Kebutuhan seorang hamba untuk bisa menghamba, menyembah kepada Allah Ta’ala adalah kebutuhan dharuri, kebutuhan dasar yang paling mendasar, dan tidaklah bisa disamakan dengan kebutuhan pokok apapun juga!

Kebutuhan beribadah kepada Allah Ta’ala itu di atas seluruh kebutuhan hamba yang lainnya.

Di dalam Al-Qur`an Al-Karim banyak disebutkan kebutuhan seorang hamba kepada Allah Ta’ala, dan penyebutan nikmat-Nya di dunia dan nikmat yang Dia persiapkannya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat!

Dan semua perkara ini mendorong seorang hamba untuk bertawakal hanya kepada Allah Ta’ala saja, bersyukur kepada-Nya dengan sempurna, mencintai-Nya atas ihsan-Nya dan kenikmatan yang didapatkan dari-Nya, serta bersandar hatinya kepada-Nya dalam seluruh perkara yang kecil, maupun besar!

Sungguh Maha Benar Allah Ta’ala ketika berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Hai manusia, kalianlah yang membutuhkan Allah, sedangkan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Faathir: 15).

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang Mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Ali Imraan: 26).

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ       

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”  (QS. An-Nisaa`: 79).

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Faathir: 2).

Penutup

Semoga Allah Ta’ala benar-benar menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa menghamba kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, taat kepada-Nya dan banyak berdoa kepada-Nya, lagi tidak menyekutukan-Nya.

Demikianlah serial artikel ini penyusun olah dari kitab Fiqhul Ad’iya` wal Adzkar, Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah, semoga diterima oleh Allah Ta’ala sebagai amalan yang memperberat timbangan amal penyusun, dan bermanfaat luas bagi kaum muslimin, baik tatkala penyusun hidup maupun ketika telah meninggal kelak. Amin, Wallahu a’lam.

Daftar link artikel ini:

  1. Modal Dasar Berdoa pada Allah (1)
  2. Modal Dasar Berdoa pada Allah (2)
  3. Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)
  4. Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)
  5. Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)
  6. Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)
  7. Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)
  8. Modal Dasar Berdoa pada Allah (8)
  9. Modal Dasar Berdoa pada Allah (9)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/31647-modal-dasar-berdoa-pada-allah-9.html

Modal Dasar Berdoa pada Allah (8)

Modal Dasar Berdoa pada Allah (8)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)

Inilah empat perkara yang dibutuhkan seorang manusia!

Terdapat sebuah kaidah yang ulama mengingatkan kita dengannya, bahwa setiap makhluk hidup pastilah butuh untuk mendapatkan manfaat dan terhindar dari mudarat (kerugian, kerusakan dan bahaya).

Padahal untuk bisa mendapatkan manfaat dan menghindari mudarat, tentulah seorang hamba membutuhkan sarana yang digunakan untuk bisa meraih keduanya.

Oleh karena itulah, hakikatnya manusia membutuhkan empat perkara berikut ini, yaitu:

Pertama, sesuatu yang dicintai, disukai, dicari, dituju, dan diinginkan keberadaannya.

Kedua, sesuatu yang tidak dicintai, tak disukai lagi dibenci dan tidak diinginkan keberadaannya.

Ketiga, sarana untuk mendapatkan sesuatu yang dicintai.

Keempat, sarana untuk menghindari sesuatu yang tidak dicintai.

Keempat hal ini adalah kebutuhan yang mendasar bagi manusia, bahkan bagi setiap makhluk hidup. Tidak mungkin ia hidup dan menjadi baik kecuali dengan empat perkara tersebut!

Yang Maha Mampu memenuhi keempat perkara itu semuanya hanyalah Allah Ta’ala semata!

Ketahuilah, bahwa Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang dicintai, dituju, dan disembah dengan hak, tiada sekutu bagi-Nya.

Dan hakekatnya Allah Ta’ala pula satu-satunya Sang Penolong agar hamba mendapatkan sesuatu yang dicintai tersebut.

Inilah hakikatnya makna yang tersirat dalam bacaan seorang hamba dalam salatnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Karena sesungguhnya ibadatullah dalam ayat di atas mengandung tujuan yang dicari dalam bentuk paling sempurna, dan isti’anah billah wahdah mengandung sarana untuk mendapatkan tujuan yang dicari tersebut.

Atau dengan kata lain, bahwa hakikatnya Allah Ta’ala satu-satunya Dzat yang dicintai, dituju dan disembah dengan hak, tiada sekutu bagi-Nya dan Allah Ta’ala pula satu-satunya Sang Penolong untuk mendapatkan sesuatu yang dicintai tersebut!

Dua perkara yang agung dan mendasar ini terdapat dalam tujuh ayat dalam Al-Qur`an Al-Karim, yaitu:

Dalam surat Al-Fatihah,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88).

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

“Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya.(QS. Huud: 123).

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا

“Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 4).

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ

“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.” (QS. Al-Furqaan: 58).

عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

“Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ra’du: 30).

لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (QS. Al-Muzzammil: 9).

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. Modal Dasar Berdoa pada Allah (1)
  2. Modal Dasar Berdoa pada Allah (2)
  3. Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)
  4. Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)
  5. Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)
  6. Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)
  7. Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)
  8. Modal Dasar Berdoa pada Allah (8)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/31609-modal-dasar-berdoa-pada-allah-8.html

Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)

Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)

Seorang hamba membutuhkan Allah, baik dalam masalah ibadah maupun istianah (memohon pertolongan).

Dalam kitab Al-‘Ubudiyyah dan Majmu’ul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa kebutuhan seorang hamba kepada Allah Ta’ala merupakan kodrat hamba-Nya dan sebuah sifat yang melekat pada diri makhluk-Nya, namun penghayatan hamba-hamba-Nya terhadap rasa butuh mereka kepada Allah Ta’ala itu bertingkat-tingkat.

Diantara mereka ada yang sangat tinggi penghayatannya dalam merasa butuh kepada Rabb-nya sehingga membuahkan tawakal yang sangat kuat pula, meskipun ia tetap berusaha keras mengambil sebab demi meraih maslahat dan menghindari mudarat (kerugian, kerusakan dan bahaya), namun hatinya tetap bersandar hanya kepada Allah Ta’ala saja.

Seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari dua sisi tinjauan, yaitu:

Pertama, seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi peribadahan.

Kedua, seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi istianah (memohon pertolongan), hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Fatihah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Berikut ini penjelasannya:

Pertama, seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi peribadahan.

Seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi peribadahan, maksudnya bahwa seorang hamba butuh untuk menyembah dan menghamba hanya kepada Allah Ta’ala semata. Seorang hamba butuh untuk mencintai Allah Ta’ala dengan kecintaan pengagungan dan kecintaan ubudiyyah.

Hakikatnya hati seorang hamba tidaklah baik, tidaklah beruntung, tidaklah gembira, tidaklah merasa lezat, tidaklah merasa bahagia, dan tidaklah merasa tenang melainkan dengan menghamba, menyembah serta beribadah kepada Allah Ta’ala saja.

Meskipun ia mendapatkan semua kesenangan duniawi dari sesama makhluk, maka pastilah hal itu tidak akan membuat hatinya tenang, bahagia, dan lezat secara hakiki tatkala ia tidak menghamba, menyembah, serta beribadah kepada Allah Ta’ala saja.

Kebahagian, ketenangan, kelezatan yang hakiki di hati seorang hamba tidak akan diraih melainkan sampai Allah-lah satu-satunya Sesembahan yang hak, paling dicintai dan diagungkan dalam hatinya!

Kedua, seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi istianah (memohon pertolongan).

Seorang hamba membutuhkan Allah Ta’ala dari sisi istianah (memohon pertolongan), maksudnya:

Karena tujuan hidup seorang hamba adalah beribadah kepada Allah Ta’ala saja, maka dalam meraih tujuan hidupnya, menghamba kepada-Nya, tunduk kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menghindari larangan-Nya, menerapkan hukum-Nya, dan melaksanakan syariat-Nya, seorang hamba sangatlah membutuhkan Allah Ta’ala dalam semua urusan tersebut, karena hakikatnya, ia tidaklah mampu melakukan satu saja dari perkara-perkara tersebut melainkan apabila Allah Ta’ala menolongnya dan memberi taufik-Nya kepadanya.

Oleh karena itu, dua perkara ini, yaitu: ibadah dan isti’anah kepada Allah Ta’ala semata adalah dua perkara yang sangat dibutuhkan oleh seorang hamba.

Ibadatullah, beribadah hanya kepada Allah Ta’ala adalah tujuan yang paling mulia, sedangkan isti’anah billah wahdah, memohon pertolongan hanya kepada Allah Ta’ala adalah sarana yang paling agung. Tujuan yang paling mulia itu tidaklah bisa diraih kecuali dengan sarana memohon pertolongan hanya kepada Allah Ta’ala saja! Ketahuilah bahwa kedua hal yang paling mulia ini terdapat dalam surat Al-Fatihah.

Pantaslah apabila Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

تأملت أنفع الدعاء فإذا هو سؤال العون على مرضاته ، ثم رأيته في الفاتحة في إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Saya perhatikan doa yang paling bermanfaat, maka (saya dapatkan) berupa permohonan pertolongan untuk meraih rida-Nya, kemudian saya mendapatkan doa tersebut terdapat dalam surat Al-Fatihah pada ayat:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

‘Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan’.” [Asyru Qawa’id fil Istiqamah, Syaikh Abdur Razzaq, hal. 10].

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. Modal Dasar Berdoa pada Allah (1)
  2. Modal Dasar Berdoa pada Allah (2)
  3. Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)
  4. Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)
  5. Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)
  6. Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)
  7. Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

 

Sumber: https://muslim.or.id/31608-modal-dasar-berdoa-pada-allah-7.html

Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)

Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)

Penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah tentang Hadits Abu Dzar radhiyallahu ’anhu

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

“(Kandungan) Hadis ini menunjukkan bahwa seluruh makhluk membutuhkan Allah Ta’ala untuk mendapatkan maslahat mereka,dan menolak mudarat (kerugian, kerusakan dan bahaya) dari mereka dalam perkara agama maupun dunia mereka.

Dan juga menunjukkan bahwa (hakikatnya) hamba tidaklah memiliki (kekuasaan) apapun dalam hal itu untuk diri mereka. Disamping itu hadis ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang Allah tidak menganugerahi petunjuk dan rezeki, maka Allah akan menghalangi keduanya (untuk mereka) di dunia, dan barangsiapa yang Allah tidak menganugerahi ampunan atas dosa-dosanya, niscaya dosa-dosanya akan membinasakannya di akhirat”. [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 2/37-38].

Jadi, seluruh perkara tergantung kepada Allah Ta’ala, baik itu terkait dengan hidayah, rezeki, keselamatan, kesehatan, dan selainnya.

Apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki dari hal itu untuk hamba-Nya, niscaya hal itu pasti terjadi, namun sebaliknya, apa saja yang Allah Ta’ala tidak kehendaki, pastilah hal itu tidak akan terealisasi!

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82).

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah sesuatu itu!.” (QS. An-Nahl: 40).

Apabila Allah Ta’ala menghendaki untuk memberi anugerah atau mengazab atau selain keduanya, maka Allah Ta’ala berfirman:

“Kun (jadilah)”, maka jadilah sesuatu itu!

Jika demikian halnya, maka bagaimana seseorang bisa bersandar hatinya kepada selain-Nya, meminta perlindungan kepada selain-Nya,serta berdoa kepada selain-Nya?!

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut:17).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

“Seorang hamba haruslah mendapatkan rezeki, dan dia (benar-benar) membutuhkan rezeki, maka apabila ia memohon rezeki untuknya kepada Allah, maka ia menjadi hamba Allah, lagi membutuhkan-Nya. Namun apabila ia memohon rezeki tersebut kepada makhluk, maka ia menjadi hamba makhluk itu, dan membutuhkan makhluk tersebut”. [Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 22].

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. Modal Dasar Berdoa pada Allah (1)
  2. Modal Dasar Berdoa pada Allah (2)
  3. Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)
  4. Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)
  5. Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)
  6. Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)
  7. Modal Dasar Berdoa pada Allah (7)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/31604-modal-dasar-berdoa-pada-allah-6.html

Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)

Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)

Baca pembahasan sebelumnya Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)

Rasa Butuh

Termasuk perkara yang agung dan sifat yang terpuji pada diri seorang yang sedang berdoa kepada Allah Ta’ala adalah mengetahui dengan yakin bahwa dirinya benar-benar sangat membutuhkan Allah Ta’ala, tidak bisa terlepas dari-Nya meski sekejap pandangan matapun.

Hal ini dikarenakan manusia, bahkan seluruh makhluk adalah hamba-hamba Allah Ta’ala yang sangat membutuhkan-Nya. Mereka adalah milik Allah Ta’ala, sedangkan Allah Ta’ala adalah Sang Pencipta mereka, Rabb mereka, dan satu-satunya Sesembahan Yang Haq.

Segala sesuatu yang Allah Ta’ala kehendaki terjadi pasti terjadi, sedangkan apa saja yang Allah Ta’ala tidak kehendaki untuk terjadi pastilah mustahil terjadi, Allah Ta’ala satu-satunya Sang Pengatur alam semesta ini. Semua kebaikan berasal dari Allah Ta’alaApabila Allah Ta’ala menghendaki merahmati seorang hamba-Nya dengan memberi kebaikan kepadanya, maka tak ada satupun yang dapat menghalangi-Nya. Allah Ta’ala berfirman tentang diri-Nya,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Faathir: 2).

Sedangkan semua makhluk membutuhkan Allah Ta’alaAllah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Hai manusia, kalianlah yang membutuhkan Allah, sedangkan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S. Faathir: 15).

Mustahil manusia tidak membutuhkan Allah Ta’alameskipun ia dibantu orang lain, ia akan tetap selalu membutuhkan Allah Ta’alakarena orang lain yang diharapkan bantuannya itu pun juga membutuhkan Allah Ta’ala. Oleh karena itulah, ada sebuah ungkapan yang indah bahwa istighatsah makhluk (doa mohon terangkat musibah) kepada makhluk seperti istighatsah orang yang tenggelam kepada orang yang juga tenggelam, atau seperti istighatsah orang yang dipenjara kepada orang yang juga dipenjara. Maksudnya, tak mampu mengabulkannya, karena sama-sama statusnya sebagai makhluk yang membutuhkan Allah Ta’ala.

Semua Bergantung pada Allah

Di dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa segala urusan itu tergantung kepada Allah Ta’ala,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ . يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .[رواه مسلم]

Dari Abu Dzar radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang beliau riwayatkan dari Allah Ta’ala, bahwa Dia berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhya Aku telah haramkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku telah menetapkannya sebagai sesuatu yang diharamkan di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.

Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.

Wahai hamba-Ku, kalian semua lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian.

Wahai hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di siang dan malam hari, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian.

Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan bisa mendatangkan kemudharatan kepada-Ku lalu menimpakannya kepada-Ku, dan kalian takkan bisa memberikan manfaat kepada-Ku lalu kalian memberikannya kepada-Ku.

Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, mereka semua berada pada taraf ketakwaan seseorang yang paling tinggi tingkat ketakwaannya di antara kalian, hal itu takkan menambah kerajaan-Ku sedikit pun.

Seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari kalangan bangsa jin dan manusia, mereka semua berada pada taraf kedurhakaan seorang yang paling parah tingkat kedurhakaannya di antara kalian, hal itu takkan mengurangi kerajaan-Ku sedikit pun.

Wahai hamba-Ku, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, semuanya berdiri di atas tanah yang tinggi, lalu mereka semua meminta kepada-Ku, lalu aku penuhi permintaan mereka, untuk yang demikian itu, tidaklah mengurangi apa-apa yang Aku miliki, kecuali seperti berkurangnya (air tatkala) jarum dimasukkan ke dalam lautan (maksudnya: tak dianggap berkurang, pent.).

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu hanyalah amalan kalian. Aku menghitungnya untuk kalian, kemudian Aku memberikannya (balasannya) secara sempurna kepada kalian, maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah dia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan yang selain dari itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri” (HR. Muslim).

[bersambung]

Daftar link artikel ini:

  1. Modal Dasar Berdoa pada Allah (1)
  2. Modal Dasar Berdoa pada Allah (2)
  3. Modal Dasar Berdoa pada Allah (3)
  4. Modal Dasar Berdoa pada Allah (4)
  5. Modal Dasar Berdoa pada Allah (5)
  6. Modal Dasar Berdoa pada Allah (6)

Penulis: 
Artikel: Muslim.or.id

 

Sumber: https://muslim.or.id/31588-modal-dasar-berdoa-pada-allah-5.html