-
Matan dan Terjemah Kitab Zadul Mustaqni’ Bab I’tikaf
Berikut ini serial penjelasan fikih i’tikaf, bersama kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, sebuah kitab fikih yang ditulis oleh yang ditulis oleh Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah (wafat th. 960 H atau 968 H).
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Muqni’ yang ditulis oleh Al-Allamah Ibnu Qudamah rahimahullah,
Isi dari kitab Zadul Mustaqni’ ini adalah:
- Kitab fikih yang sangat ringkas, tidak disebutkan di dalamnya dalil, ta’lil (alasan hukum), dan tidak diperbanyak permasalahan fikih yang detail dan rinci, karena maksud penulisannya sebatas menyebutkan masalah fikih secara global tanpa memperbanyak rincian.
- Penulis memilih pendapat terkuat dalam madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah sebagai bahan acuan
- Penulis dalam kitab ini juga tidak menyebutkan permasalahan yang jarang terjadi, yang sebenarnya permasalahan tersebut disebutkan dalam kitab asalnya, yaitu Al-Muqni’, namun menambahkan faidah yang tidak terdapat dalam Al-Muqni’.
Kitab ini merupakan kitab dasar dalam madzhab Hanbaliyyah dan barangsiapa yang hendak mendalami madzhab Hanbaliyyah maka silahkan dihafal matan kitab ini diiringi membaca kitab-kitab penjelasannya (Syuruh) dan catatan-catatan singkat tentangnya (Hawasyi), seperti kitab Ar-Raudhul Murbi’ (Al-Bahuti) , Syarhul Mumti’ (Syaikh Al-Utsaimin), dan Asy-Syarhul Mukhtashar. Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
بَابُ الاعْتِكَافِ
هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ، لِطَاعَةِ اللهِ مَسْنُونٌ، وَيَصِحُّ بِلَا صَوْمٍ، وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ، وَلَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلّا المَرْأَةَ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا، وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ، وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ، وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ، وَلَا يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلَا يَعُودُ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدُ جَنْازَةً إِلّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ، وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ، وَيُسْتَحَبُّ اشْتِغَالُهُ بِالْقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لَا يَعْنِيهِ.
Bab I’tikaf
I’tikaf adalah sebuah kegiatan menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hukumnya adalah sunnah. I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa. Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar. I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf atau melakukan shalat di sebuah masjid selain tiga masjid paling utama, yaitu masjid Al- Haram (Mekah), masjid Nabawi di Madinah, dan terakhir masjid Al-Aqsha, maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut selain tiga masjid paling utama. Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih dibanding yang masjid lain, maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan waktunya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu. Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) tidak boleh keluar dari masjid tempat i’tikafnya kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah kecuali jika ia mensyaratkannya. Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.
***
Penyusun: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Tag: I’tikaf
Fikih I’tikaf (14)
- Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.
Penjelasan:
Maksud perkataan penulis rahimahullah,
وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ
“Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus)” adalah disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan melakukan ibadah-ibadah yang khusus, seperti baca Alquran, dzikir, shalat di luar waktu larangan dan ibadah yang semisal itu. Hal ini lebih utama daripada menghadiri majelis Ta’lim, kecuali jika sesekali dan kemungkinan tidak bisa didapatkan pada kesempatan yang akan datang, barangkali ketika itu bisa dikatakan menuntut ilmu lebih utama daripada menyibukkan diri dengan melakukan ibadah-ibadah khusus yang disebutkan di atas. Maka silahkan hadiri majelis yang jarang didapatkan tersebut, karena majelis tersebut tidak menyibukkan seorang mu’takif dari ibadah i’tikafnya.
Maksud perkataan penulis rahimahullah,
وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at”
Penjelasan:
Disunnahkan bagi mu’takif untuk menjauhi perkara yang tidak bermanfa’at, baik berupa ucapan, perbuatan maupun selainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya).
Hadits di atas menunjukkan bahwa termasuk keindahan Islam seseorang, keindahan adabnya, ketenangan dan istirahat hatinya adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya, karena jika seseorang suka mencari sesuatu yang tidak bemanfaat, maka akan sibuk hatinya dan berat pikirannya dan letih serta rugi dunia akherat.
Bolehkah keluarga mu’takif mengunjunginya dan berbicara beberapa saat dengannya?
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan, karena Shafiyyah radhiyallahu ‘anha pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid tempat beliau i’tikaf dan berbicara beberapa saat dengan beliau sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Dan pembicaraan beliau berdua termasuk perkara yang bermanfaat, karena pembicaraan keluarga.
Pembicaraan antar anggota keluarga bisa menjadi hal yang menggembirakan hati serta perkataan yang bisa menjalin keakraban diantara keluarga. Dan ini termasuk perkara yang bermanfaat yang dimaksud dalam hadits mulia yang telah disebutkan di atas.
Disamping itu, pembicaraan tersebut juga termasuk perkataan baik yang terdapat dalam hadits berikut,
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih).
Karena yang dimaksud “berkata baik” disini ada dua macam, yaitu:
- Isi kata-kata yang diucapkan adalah kata-kata yang baik.
- Tujuan atau akibat dari sebuah ucapan adalah tujuan atau akibat yang baik (selama kata-katanya bukan kata-kata yang terlarang).
[Diringkas dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/529-530].
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat. Sampai disini, usai sudah matan terakhir dari bab I’tikaf yang diambil dari kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, karya: Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah.
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (13)
- Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ
Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya
Penjelasan:
Perkataan penulis rahimahullah :
“Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya” , hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).
Alasan pendalilan:
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang sedang i’tikaf mencampuri istrinya, hal ini menunjukkan bahwa jima’ (bersetubuh) saat i’tikaf merupakan pembatal i’tikaf, karena larangan dalam ayat ini tertuju pada perbuatan yang khusus terkait erat dengan i’tikaf, sedangkan kaidah dalam masalah ini adalah jika sebuah larangan tertuju pada ucapan ataupun perbuatan yang khusus terkait erat dengan suatu ibadah, maka jika larangan itu dilanggar akan membatalkan ibadah tersebut.
Contohnya: Berbicara dengan sengaja dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak terkait dengan maslahat shalat, makan saat puasa dan bersetubuh saat sedang ihram, disamping juga contoh pada bab ini, yaitu bersetubuh saat i’tikaf.
Selain bersetubuh, mu’takif juga dilarang melakukan segala hal yang berkenaan dengan muqoddimah bersetubuh, seperti mencium dan meraba atau yang semisalnya, karena perkara-perkara tersebut mendorong mu’takif untuk bersetubuh, menyibukkan mu’takif dari ibadah i’tikaf dan mengandung pelampiasan syahwat, yang semua ini tidak selaras dengan aktifitas ibadah i’tikaf.
Perkataan penulis rahimahullah :
“Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya“, juga mengandung konsekuensi bahwa jika mu’takif menggauli istrinya, namun bukan pada kemaluannya, seperti di sela-sela kedua pahanya, maka tidak membatalkan i’tikafnya, kecuali jika keluar air mani, demikian keterangan ulama rahimahumullah. Menggauli istri bukan pada kemaluan tidak membatalkan i’tikaf disebabkan karena perkara yang diharamkan ketika i’tikaf adalah bersetubuh, sedangkan muqoddimah bersetubuh adalah penghantar kepada bersetubuh, sehingga pengharamannya adalah jenis pengharaman wasilah (sarana).
Bagaimana jika seorang mu’takif beri’tikaf dengan mensyaratkan bersetubuh ?
Jawabannya adalah syarat tersebut tidaklah sah, karena termasuk syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah. Setiap syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah syarat yang batil.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan, 2/ 421].
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (12)
- Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَلاَ يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ يَعُودُ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدُ جَنَازَةً إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ
Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) tidak boleh keluar dari masjid tempat i’tikafnya, kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.
Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah, kecuali jika ia mensyaratkannya.
Penjelasan
Penulis di matan ini, mulai menyebutkan tentang hukum keluarnya mu’takif dari masjid tempat i’tikafnya.
Beliau menyebutkan dua macam:
1. Keluar untuk keperluan yang wajib atau mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi.
Kesimpulan ini diambil dari perkataan beliau :
إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ
kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.
Mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid tempat i’tikafnya,untuk memenuhi keperluan yang seperti ini, baik ia mempersyaratkannya dalam i’tikafnya atau tidak, namun sebatas keperluan saja.
Contoh keperluan jenis ini adalah makan, minum, mengambil tambahan pakaian jika suhu menjadi sangat dingin dan buang air kecil maupun besar, mengambil makanan,karena tidak ada yang mengambilkannya semua ini termasuk kedalam keperluan yang harus ditunaikan secara kebutuhan manusiawi.
Adapun kelompok keperluan yang harus ditunaikan secara Syar’i, seperti: berwudhu’ , shalat jum’at bagi mu’takif yang beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk shalat jum’at,padahal masa i’tikaf melewati hari jum’at dan mandi junub (mandi wajib).
Faedah
Adapun mandi sekedar untuk mendinginkan badan bagi mu’takif, maka yang seperti ini terlarang. Namun jika maksud mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di badan, maka boleh. Demikian perincian Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah , bahwa hukum mandi bagi mu’takif ada tiga: wajib, terlarang dan boleh
2. Keluar untuk keperluan yang tidak wajib atau tidak mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi
Kesimpulan ini diambil dari perkataan beliau:
ولا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة إلا أن يشترطه
Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah.
Keperluan jenis ini, dicontohkan oleh penulis rahimahullah, yaitu: menjenguk orang yang sakit dan tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah.
Seorang yang sedang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah, walaupun keduanya adalah perkara yang disunahkan, dengan alasan:
Pertama: Karena dalam kondisi ini, i’tikaf baginya lebih penting daripada menjenguk orang yang sakit dan mengurus jenazah atau yang semisalnya dan ia tidak berdosa meninggalkan kedua aktifitas tersebut atau yang semisalnya. Namun, jika ia berada dalam keadaan tidak ada satupun orang yang mengurus jenazah kecuali ia, maka dalam kondisi ini, berubah menjadi keperluan jenis pertama dan harus ditunaikan olehnya.
Kedua: Karena keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan memakan waktu i’tikaf beberapa lama.
Namun, ada satu kondisi yang menunjukkan diperbolehkannya bagi mu’takif keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini, penulis rahimahullah mengatakan:
إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ
“kecuali jika ia mensyaratkannya”,maksudnya adalah mu’takif boleh mempersyaratkan untuk keluar dari masjid tempat i’tikafnya, di saat akan memulai i’tikafnya. Namun, tidak selayaknya hal ini dilakukan, bahkan i’tikaf tanpa syarat itulah yang lebih utama, kecuali jika orang yang sakit memiliki hak atas dirinya, seperti : orang yang sakit itu adalah kerabatnya, yang kalau seandainya tidak menjenguknya akan terhitung memutuskan tali silaturrahmi, maka dalam kondisi ini, i’tikaf bersyarat lebih utama.
3. Keluar untuk keperluan yang penting bagi mu’takif, namun bertentangan dengan i’tikafnya.
Keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan membatalkan i’tikaf seseorang, baik mu’takif mempersyaratkannya ataupun tidak.
Contoh: Keluar untuk keperluan bisnis, keluar untuk menggauli istri dan keluar untuk piknik.
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520 (PDF)].
(Bersambung)
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (11)
- Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya atau melakukan shalat di masjid (tertentu), selain ketiga masjid (yang paling utama) -(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al- Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha- ,maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut (yaitu: di masjid tertentu selain ketiga masjid yang paling utama).
Penjelasan kalimat
- Maksud perkataan penulis rahimahullah :
وَمَنْ نَذَرَهُ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya”, yaitu melakukan i’tikaf. - Maksud perkataan penulis rahimahullah :
غَيْرِ الثّلَاثَةِ
“selain ketiga masjid (yang paling utama) ”, adalah seandainya seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.
- Perkataan penulis rahimahullah :
وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى
“-(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al-Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha-” adalah berdasarkan dalil berikut ini:
Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al-Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abud Darda` dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:
«فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة»
“Shalat di masjid Al-Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain, shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat (di tempat lain), shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha) (lebih baik daripada) 500 shalat (di tempat lain).” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunnan Ash-Shughra:1821, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami`:4211 dan Irwa`ul Ghalil:1129, lihat: http://bit.ly/1CEEK9i) - Maksud perkataan penulis rahimahullah :
لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
“maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut”
adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i. Inilah zahir dari perkataan penulis.
Penjelasan umum
Adapun maksud matan di atas secara global adalah :
Jika seseorang yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf atau shalat di masjid (tertentu) selain ketiga masjid (yang paling utama), maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut, ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya dan nadzarnya sah tertunaikan. Adapun jika seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.
Kritikan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah terhadap matan ini
Zhahir dari perkataan penulis,
لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
“maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut” adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tesebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i, seperti masjid yang lebih dekat, masjid yang usianya lebih lama atau lebih awal dibangunnya dan masjid yang di dalamnya ditegakkan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan benar, jauh dari perkara yang mungkar, perkara bid’ah apalagi perkara kesyirikan (Asy-Syarhul Mumti’ 6/519), masjid yang lebih banyak jama’ahnya, atau masjid Jami’ (yang digunakan untuk menunaikan shalat Jum’at) bagi seorang mukallaf yang beri’tikaf dan melewati hari jum’at (lihat: http://bit.ly/1TAu8N8). Perkataan penulis yang mengandung makna seperti ini tidaklah tepat.
Kalimat dalam matan di atas barulah tepat, jika masjid yang ditentukan dalam nadzar adalah masjid yang tidak memiliki keutamaan Syar’i.
Oleh karena itulah, seandainya masjid yang sudah ditentukan dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan lebih dalam Syari’at, walaupun bukan salah satu dari tiga masjid yang paling utama, maka bagi orang yang bernadzar dengan nadzar tersebut, wajib menunaikannya di masjid yang disebutkan dalam nadzarnya, karena masjid yang disebutkan dalam nadzarnya itu memiliki keutamaan Syar’i.
Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsamin rahimahullah,
فالصحيح في هذه المسألة أن غير المساجد الثلاثة إذا عينه لا يتعين إلا لمزية شرعية، فإنه يتعين؛ لأن النذر يجب الوفاء به، ولا يجوز العدول إلى ما دونه.
“Jadi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa jika seseorang dalam nadzar menentukan sebuah masjid selain ketiga masjid yang paling utama dan ia menentukannya semata-mata karena masjid itu memiliki keutamaan Syar’i, maka (dalam hal ini) hukumnya wajib dilaksanakan nadzar tersebut (sesuai dengan masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, pent.), karena sebuah nadzar itu hukumnya wajib ditunaikan dan tidak boleh beralih kepada sesuatu yang lebih rendah keutamaannya darinya (yaitu: dari apa yang disebutkan dalam nadzar).”
—-
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ
Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya.
Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya.
Penjelasan:
- Perkataan penulis rahimahullah :
وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ
“Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya”, misalnya adalah ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, maka tidak sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi atau masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), karena masjid Al-Haram memiliki keutamaan lebih tinggi dari keduanya.
- Maksud perkataan penulis rahimahullah :
وعكسه بعكسه
“Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya” adalah jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan yang kurang (baca: kurang afdhal), maka boleh memenuhi nadzarnya di masjid yang memiliki keutamaan lebih tinggi (baca: afdhal), misalnya : ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi, maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, begitu pula jika ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram atau masjid Nabawi. Karena keduanya lebih utama dari masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha).Dalil tentang bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik adalah
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ قَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (شَأْنُكَ إِذَنْ ) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ لَوْ صَلَّيْتَ هَاهُنَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ صَلَاةً فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ)
Dari Jabir bin Abdullah, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki berdiri pada hari Fathul Makkah lalu berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku telah bernadzar karena Allah. Jika Allah memenangkan Anda dalam menaklukkan kota Makkah, aku akan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis”. Beliau bersabda, “Shalatlah di sini!”, lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda,“Shalatlah di sini!” lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda, “Kalau begitu, terserah padamu”. [HR Abu Dawud, dishahihkan oleh sejumlah ulama, diantaranya : Al-Hakim dan Al-Albani ].
Hadits ini menunjukkan bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik.
Faedah
Bahkan sebagian ulama mengqiyaskan hukum waqaf terhadap hukum nadzar ini, maksudnya: karena mengganti nadzar itu dengan yang lebih baik hukumnya boleh, maka mengganti waqaf dengan yang lebih baik hukumnya juga boleh. Namun qiyas ini adalah untuk masalah hukum memindah waqaf umum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فعلى هذا، فلو نذر أن يقف شيئا فوقف خيرا منه كان أفضل
“Berdasarkan ini, jika seseorang bernadzar bahwa dia akan mewaqafkan sesuatu, lalu dia mewaqafkan (sesuatu tersebut) yang lebih baik darinya, hal itu lebih baik”.
(Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520 (PDF)).
—
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (baca: masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.
Penjelasan (Syarah):
- Perkataan penulis rahimahullah : “Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, misalnya: seseorang bernadzar untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Inilah yang dimaksud “dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, baik tertentu dari sisi hari,pekan maupun bulan tertentu.
- Perkataan penulis rahimahullah : “maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut“, dalam contoh kasus di atas,yaitu : ia wajib masuk masjid tempat i’tikafnya, sebelum terbenamnya matahari menandai malam ke-21 Ramadhan. Dengan demikian, ia harus masuk masjid tempat i’tikafnya, sore hari ke-20 Ramadhan, sebelum terbenamnya matahari, karena hari dalam Islam (Tahun Hijriyyah) dimulai dari terbenamnya matahari (malamnya). Adapun malam dalam Islam (Tahun Hijriyyah), dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir dengan terbitnya fajar, sedangkan siang, di mulai dari terbitnya matahari dan berakhir dengan terbenamnya matahari.Dan sehari semalam adalah di mulai dari terbenamnya matahari (masuk malam), lalu pagi, siang, sore dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Itulah definisi hari, malam dan siang dalam istilah Syar’i.
- Perkataan penulis rahimahullah : “dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.“, berarti ia keluar pada akhir hari yang telah ia tentukan dalam nadzarnya, yaitu malam Hari Raya (malam pertama bulan Syawwal), yang ditandai dengan tenggelamnya matahari. Pembahasan diatas adalah bagi orang yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajib beri’tikaf dengan urut dari hari pertama sampai hari terakhir dan tidak boleh diselingi dengan jeda hari tanpa i’tikaf.
Nah, bagaimana jika seseorang bernadzar untuk rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya?
Misalnya, seseorang bernadzar untuk beri’tikaf sepuluh hari, begitu saja tanpa menentukan bulan apa atau pekan ke berapa. Apakah diwajibkan baginya beri’tikaf secara urut?
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,
والحاصل، أنه إذا نذر عدداً، فإما أن يشترط التتابع بلفظه، أو لا، فإن اشترطه فيلزمه، وإن لم يشترطه فهو على ثلاثة أقسام:
Kesimpulannya, jika seseorang bernadzar untuk bilangan (rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya), maka kemungkinan pertama: Ia mensyaratkan dalam ucapan nadzarnya harus urut atau
(Kemungkinan kedua:) Tidak mensyaratkan harus urut dalam ucapan nadzarnya.
Jika ia mensyaratkan harus urut, maka wajib urut. Namun, jika ia tidak mensyaratkan harus urut (dengan lisannya), maka terdapat tiga keadaan:
الأول: أن ينوي التفريق؛ فلا يلزمه إلا مفرقة.
الثاني: أن ينوي التتابع، فيلزمه التتابع.
الثالث: أن يطلق فلا يلزمه التتابع، لكنه أفضل؛ لأنه أسرع في إبراء ذمته.
Pertama: Ia berniat tidak urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara tidak urut.
Kedua: Ia berniat urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut.
Ketiga: Ia tidak berniat urut maupun tidak urut, maka tidak wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut. Namun yang lebih utama dilakukan secara urut, karena lebih cepat tertunaikan tanggungan nadzarnya.
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan].
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
- Maksud perkataan penulis rahimahullah :
Fikih I’tikaf (10)
-
Syarat wanita boleh beri’tikaf
Wanita boleh beri’tikaf jika memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Diizinkan oleh suami
Al-Hafidz Ibnu hajar rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Fathul Bari,
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ :فِي الْحَدِيث أَنَّ الْمَرْأَة لا تَعْتَكِف حَتَّى تَسْتَأْذِن زَوْجهَا وَأَنَّهَا إِذَا اِعْتَكَفَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهَا , وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَلَهُ أَنَّ يَرْجِعَ وَعَنْ أَهْل الرَّأْي إِذَا أَذِنَ لَهَا الزَّوْجُ ثُمَّ مَنَعَهَا أَثِمَ بِذَلِكَ وَامْتَنَعَتْ , وَعَنْ مَالِك لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ , وَهَذَا الْحَدِيث حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ
“Ibnu Mundzir dan yang lainnya mengatakan,Dalam hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh beri’tikaf sebelum minta izin kepada suaminya. Dan kalau wanita itu beri’tikaf tanpa seizinnya, maka dia (suaminya) berhak untuk mengeluarkannya. Kalau telah diberi izin, (suaminya pun) diperkenankan mencabut izinnya dan melarangnya.
Menurut Ahli Ra’yi, kalau sang suami telah memberi izin, kemudian melarangnya, maka dia berdosa dan boleh bagi istrinya untuk menolaknya. Adapun diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau memandang sang suami tidak berhak melakukan hal itu (yaitu melarang istrinya setelah ia memberi izin kepada istrinya). Namun hadits ini adalah dalil yang membantah mereka.” (Sumber: Library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3720&idto=3721&bk_no=52&ID=1279)
2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki)
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini,
فالمرأة تعتكف ما لم يكن في اعتكافها فتنة، فإن كان في اعتكافها فتنة فإنها لا تمكن من هذا؛ لأن المستحب إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، كالمباح إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، فلو فرضنا أنها إذا اعتكفت في المسجد صار هناك فتنة كما يوجد في المسجد الحرام، فالمسجد الحرام ليس فيه مكان خاص للنساء، وإذا اعتكفت المرأة فلا بد أن تنام إما ليلاً وإما نهاراً، ونومها بين الرجال ذاهبين وراجعين فيه فتنة.
“Seorang wanita diperbolehkan beri’tikaf selama tidak menimbulkan fitnah. Jika i’tikafnya menimbulkan fitnah, maka ia dilarang beri’tikaf, karena sesuatu yang hukumnya sunnah, (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib dilarang, sebagaimana sesuatu yang mubah (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib dilarang pula, (ini) seandainya kita katakan bahwa jika seorang wanita beri’tikaf menimbulkan fitnah.
(Hal ini) seperti yang terjadi di masjidil Haram. Di dalam masjidil Haram tidak terdapat tempat khusus bagi wanita, sehingga jika ia beri’tikaf, haruslah ia tidur (di masjidil Haram), baik di waktu malam atau siang. Sementara tidurnya di tengah-tengah hilir mudiknya laki-laki di dalam masjidil Haram, hal ini bisa menimbulkan fitnah.” (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 510 (PDF)).
Apakah orang yang tidak diwajibkan padanya shalat jama’ah -selain wanita- itu hukum bagi mereka sama seperti hukum bagi wanita?
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,
نعم، فلو اعتكف إنسان معذور بمرض، أو بغيره مما يبيح له ترك الجماعة في مسجد لا تقام فيه الجماعة، فلا بأس.
“Ya (hukumnya sama dengan hukum bagi wanita, pent.), oleh karena itu, seandainya orang (laki-laki mukallaf) yang sakit atau selainnya dari orang yang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah itu beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk shalat berjama’ah, maka hal itu tidaklah mengapa (baca : sah)”. (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 511 (PDF)).
Faedah Ilmiyyah
Konsekuensi mushalla yang terdapat di rumah, tidak bisa disebut sebagai masjid -baik secara hukum maupun secara hakekatnya-, diantaranya adalah :
- Mushalla tersebut statusnya bukanlah masjid yang diwakafkan.
- Jika ada orang asing masuk ke mushalla tersebut, tanpa izin tuan rumah dengan alasan ingin menunaikan shalat, maka pemilik rumah berhak mencegahnya.
- Jual beli yang dilakukan di dalam mushalla tersebut sah.
- Tidak disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid di dalamnya.
- Boleh bagi wanita haidh untuk berdiam di dalamnya.
(Asy-Syarhul Mumti‘, hal. 511 (PDF)).
(Bersambung)
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (9)
-
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَلاَ يَصِحُّ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلاَّ المَرْأَةُ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا……….
I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya.
Penjelasan:
Maksud perkataan penulis rahimahullah : “I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya…“ adalah bahwa syarat kesahan i’tikaf diantaranya adalah bertempat di masjid yang digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hal ini dikarenakan :
1. Masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hakekatnya bukanlah masjid dengan makna yang sebenarnya.
2. I’tikaf yang bertempat di masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah menyebabkan salah satu dari dua konsekuensi berikut, yaitu:
a. Orang yang sedang i’tikaf di dalam masjid tersebut, jika memilih tetap berada di masjid itu pada waktu-waktu shalat wajib, maka akan meninggalkan shalat berjama’ah.
Meninggalkan kewajiban shalat berjama’ah lima waktu dengan alasan untuk melakukan ibadah i’tikaf yang hukumnya sunnah adalah sesuatu yang diharamkan bagi laki-laki mukallaf,
b. Jika ia tetap beri’tikaf, namun ia keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid lain, setiap hari lima kali, maka hal ini bertentangan dengan ibadah i’tikaf, karena sering keluar dari tempat ia beri’tikaf.
Adapun maksud perkataan penulis rahimahullah :
“…kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga…” adalah bahwa seorang wanita sah beri’tikaf di masjid manapun juga, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah maupun tidak. Hanya saja dikecualikan mushalla (tempat shalat) yang berada di dalam rumahnya, maka tidak sah ia beri’tikaf di dalamnya, karena tempat shalat di dalam rumah itu tidaklah bisa dinamakan masjid.
Apakah wanita disyari’atkan beri’tikaf?1
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, 2033 dan Muslim, 1173 dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ وَإِنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ أَرَادَ الاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ وَأَمَرَ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ نَظَرَ فَإِذَا الأَخْبِيَةُ فَقَالَ آلْبِرَّ تُرِدْنَ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ وَتَرَكَ الاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ .
وفي رواية للبخاري : ( فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَة فَأَذِنَ لَهَا , وَسَأَلَتْ حَفْصَة عَائِشَة أَنْ تَسْتَأْذِن لَهَا فَفَعَلَتْ ) .
“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, beliau shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. Dan beliau memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan, beliau bermaksud i’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadhan, lalu Zainabpun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan.
Istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selainnya pun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat fajar melihat banyak tenda, beliau bersabda, “Apakah ketaatan yang kalian inginkan? Kemudian beliau memerintahkan untuk membongkar tendanya dan beliau meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadan sampai beliau beri’tikaf di sepuluh awal bulan Syawwal.” Dalam teks Bukhari, “Aisyah meminta izin dan beliau diberi izin. Dan Hafshoh meminta Aisyah untuk memintakan izin baginya dan beliau lakukan.”
Dalam hadits ini menunjukkan kesahan i’tikaf wanita. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkannya. Dan mereka dilarang setelah itu, karena ada alasan insidentil.
(Bersambung)
1. Diringkas dari Islamqa.info/ar/48956
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (8)
- Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ
“Keduanya itu menjadi wajib karena nazar”
Penjelasan
Perkataan penulis “Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar” maksudnya adalahi’tikaf dan puasa menjadi wajib jika seseorang bernazar, sedangkan nazar adalah mengharuskan seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib karena Allah.
Konsekuensi dari keterangan dalam matan
Pernyataan penulis di atas, berkonsekuensi hal-hal sebagai berikut:
- Barangsiapa yang bernazar untuk melakukan puasa sehari, maka wajib baginya berpuasa sehari.
- Barangsiapa yang bernazar untuk i’tikaf sehari, maka wajib baginya beri’tikaf sehari.
- Barangsiapa yang bernazar untuk berpuasa dalam keadaan sedang beri’tikaf, maka wajib baginya melakukannya dengan cara beri’tikaf mulai sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari karena itulah waktu berpuasa, sedangkan isi nazarnya mengharuskan i’tikafnya mencakup waktu puasa.
- Barangsiapa yang bernazar untuk beri’tikaf dalam keadaan berpuasa, maka wajib ia melakukan nazarnya. Nazar yang keempat ini bagi ulama yang berpendapat bahwa i’tikaf itu sah walaupun sesaat saja, maka nazar ini sudah dianggap tertunaikan jika i’tikaf dilakukan di siang hari saat berpuasa walaupun hanya sesaat saja. Namun, pendapat yang terkuat adalah waktu minimal i’tikaf adalah sehari atau semalam.
Dalil i’tikaf dan puasa itu menjadi wajib karena nazar
Jika ada orang yang bertanya, “Apa dalil dari perkataan penulis dalam matan di atas?”
Maka jawablah,
Dalil bahwa i’tikaf dan puasa itu menjadi wajib karena nazar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من نذر أن يطيع الله فليطعه
Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka wajib mentaati Allah (HR. Al-Bukhari:8/177).
Sisi pendalilan:
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan, agar memenuhi nadzarnya, sedangkan puasa dan i’tikaf adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan hukum asalnya, sebuah perintah dalam dalil itu bersifat wajib dilakukan, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum wajib. Adapun dalam konteks ini tidak terdapat dalil yang memalingkan dari hukum wajib.
Bukankah nadzar itu makruh?
Perlu diingat, bahwa nadzar adalah ibadah, karena Allah berfirman,
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” (QS. Al Insan:7)
Dalam ayat ini, Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Tidaklah Allah memuji kecuali karena mereka melakukan sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan setiap yang dicintai oleh-Nya merupakan suatu ibadah.
Nazar itu ada dua, muthlaq dan muqoyyad.
Nazar mutlaq adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan tanpa syarat. Misalnya, “Saya bernadzar untuk i’tikaf 10 hari karena Allah,” sedangkan nadzar muqayyad adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan dengan syarat jika permintaannya dipenuhi oleh Allah. Misalnya, ucapan seseorang, “Saya bernazar akan beri’tikaf karena Allah jika saya sembuh.”
Nazar yang kedua inilah yang hukumnya makruh. Nazar ini menunjukkan kebakhilan seseorang dalam melakukan ketaatan karena seseorang yang bernazar muqayyad mensyaratkan keinginannya terpenuhi terlebih dahulu, barulah melakukan suatu ketaatan.
Renungan
Hendaknya seseorang mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum bernazar dan tidak membiasakan diri bernadzar tanpa perhitungan, walaupun berbentuk mutlak, karena dikhawatirkan tidak bisa memenuhi atau ia melakukan pelanggaran dalam memenuhinya.
(Bersambung)
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Yuk I’tikaf di Sleman, Fikih I’tikaf (7)
- Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
وَيَصِحُّ بِلاَ صَوْمٍ
“I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa”
Penjelasan
Matan ini menunjukkan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan tanpa harus berpuasa. Inilah pendapat penulis rahimahullah dan ulama selainnya, namun sesungguhnya dalam masalah ini telah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama rahimahumullah.
Perbedaan pendapat ulama
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan matan Zadul Mustaqni’ ini mengatakan,
وهذه المسألة فيها خلاف بين العلماء: القول الأول: أنه لا يصح الاعتكاف إلا بصوم. واستدلوا بأن النبي صلّى الله عليه وسلّم لم يعتكف إلا بصوم إلا ما كان قضاءً. القول الثاني: أنه لا يشترط له الصوم
“Tentang masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Pendapat yang pertama tidak sah i’tikaf kecuali dengan berpuasa. Mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa saat beri’tikaf, kecuali ketika mengqadha` i’tikaf. Pendapat kedua bahwa tidak disyaratkan berpuasa untuk melakukan i’tikaf.” [1]
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat ulama syafi’iyyah, pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah dan pendapat sekelompok ulama Salaf. Demikian pula Ibnu Hazm, Ibnu Daqiqil ‘Iid, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat ini. Inilah pendapat yang benar [2].
Dalil tentang kesahan i’tikaf tanpa puasa
1. Dari Nash
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كنت نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab penuhi nadzarmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sisi pendalilan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya beri’tikaf di malam hari, sedangkan malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Dengan demikian, puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf.
Dari logika
Adapun secara logika, maka Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
وبأنهما عبادتان منفصلتان، فلا يشترط للواحدة وجود الأخرى.
“I’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lainnya, maka tidaklah dipersyaratkan bagi kesahan ibadah yang satu, adanya ibadah yang lainnya.”
Kesimpulan
I’tikaf yang dilakukan tanpa puasa sah adanya, sehingga puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkan orang yang melakukan i’tikaf harus dalam keadaan berpuasa. Dengan demikian, seseorang yang sakit, sehingga tidak bisa berpuasa pada bulan Ramadhan, namun ingin dan kuat beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka sah i’tikafnya, walaupun tanpa berpuasa.
(Bersambung)
***
Catatan kaki
[1] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 506-507 (PDF).
[2] Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyah, http://www.dorar.net/enc/feqhia/2001
[3] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 507 (PDF).
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Anda sedang membaca: ” Fikih I’tikaf “, baca lebih lanjut dari artikel berseri ini:
Fikih I’tikaf (6)
- Perkataan penulis rahimahullah مَسْنُونٌ “hukum i’tikaf adalah sunnah” memiliki faedah berikut.
4. Tidak disebutkan keterangan waktu dan tempat (masjid)
Penulis di matan ini tidak memberi keterangan waktu mupun masjid tertentu. Beliau rahimahullah tidak mengatakan bahwa i’tikaf disunnahkan pada bulan Ramadhan dan tidak pula mengatakan bahwa i’tikaf disunnahkan di tiga masjid yang mulia, masjidil Haram di Mekkah, masjid Nabawi, dan masjid Aqsha.
Dengan demikian, lahiriyah dari perkataan penulis مسنون “hukumnya adalah sunnah” maksudnya adalah disunnahkan i’tikaf di setiap waktu dan sah dilakukan di masjid manapun. Jadi, menurut secara tersurat, perkataan penulis مسنون “hukumnya adalah sunnah” dapat disimpulkan:
1. Tempat i’tikaf adalah setiap masjid.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid” (Al-Baqarah: 187).
Penjelasan:
Huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’umum, yaitu alif lam yang menunjukkan makna umum karena seandainya i’tikaf tidaklah sah kecuali jika dilakukan pada masjid-masjid tertentu saja, maka tentulah huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’ahdi, yaitu alif lam yang menunjukkan suatu masjid tertentu yang sudah dipahami sebelumnya dalam pikiran pembaca Ayat di atas.
Akan tetapi, hal ini tidaklah didukung dengan dalil. Oleh karena itu, hal ini harus dikembalikan kepada hukum asal alif lam dalam konteks, yaitu alif lam lil’umum,makna umum untuk seluruh masjid, sehingga menunjukkan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di masjid manapun juga.
Adapun riwayat berikut ini,
قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : عَكُوفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِى مُوسَى وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ اعْتِكَافَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَوْ قَالَ فِى الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ . فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : لَعَلَّكَ نَسِيتَ وَحَفِظُوا وَأَخْطَأْتَ وَأَصَابُوا
“Hudzaifah mengatakan kepada Abdullah, maksudnya Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, ‘(Suatu kaum) beri’tikaf (di masjid) yang terletak di antara rumah Anda dan rumah Abu Musa. Padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak sah i’tikaf (kecuali) di Masjidil Haram atau mengatakan, di tiga masjid. Abdullah mengatakan, mungkin Anda lupa dan mereka masih hafal. Anda salah, dan mereka yang benar.”
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan riwayat ini sebagai berikut, “Semua masjid yang ada di dunia merupakan tempat yang sah untuk beri’tikaf. Tidak khusus di tiga masjid saja sebagaimana diriwayatkan dari Huzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sah beri’tikaf kecuali di tiga masjid,” (tidaklah demikian) karena sesungguhnya hadits ini lemah.
Yang menunjukkan kelemahannya adalah bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu melemahkannya, (yaitu) saat Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu menyebutkan kepadanya tentang suatu kaum yang beri’tikaf di sebuah masjid yang terletak diantara rumah Hudzaifah dan rumah Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lalu berkunjunglah Hudzaifah kepada Ibnu Mas’ud dan berkata, “Ada suatu kaum yang beri’tikaf di masjid sana, padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ‘Tidaklah sah i’tikaf kecuali di tiga masjid saja.’”
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pun berkata, “Mungkin mereka benar dan Anda salah. Mereka ingat dan anda lupa.” Jadi, Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu melemahkan hadits ini, secara hukum maupun riwayat.
Adapun dari sisi hukum, maka perkataan beliau “Mereka benar dan Anda salah”, sedangkan dari sisi periwayatan, maka terdapat dalam perkataan beliau “Mereka ingat dan Anda lupa”, seorang manusia mungkin saja mengalami lupa.
Kalaupun hadits ini shahih, maka maknanya adalah tidak ada i’tikaf yang sempurna, maksudnya i’tikaf di ketiga masjid tersebut lebih sempurna dan lebih utama daripada i’tikaf di masjid-masjid lainnya. Sebagaimana shalat di ketiga masjid tersebut juga lebih utama daripada shalat di masjid-masjid lainnya.”
Adapun dari akal, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bagaimana mungkin hukum i’tikaf yang disunnahkan bagi seluruh umat, namun hanya sah dilakukan di ketiga masjid saja?
Kesimpulan:
Pendapat yang benar adalah i’tikaf sah dilakukan di setiap masjid. Akan tetapi, i’tikaf yang dilakukan di ketiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat yang dilakukan di ketiga masjid tersebut juga lebih utama.
2. Masa i’tikaf adalah setiap waktu.
Kesimpulan kedua ini adalah pendapat penulis rahimahullah dan ulama lainnya. Berdasarkan pendapat ini, jika kita mau i’tikaf walaupun di luar bulan Ramadhan, selama tidak meninggalkan sesuatu yang lebih penting, maka hal ini disunnahkan.
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa pendapat ini perlu dikritisi, karena:
- Hukum Syari’at itu (diantaranya) diambil dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali saat mengqadha’ i’tikaf.
- Demikian pula, Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada seorangpun diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang melakukan i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali saat mengqadha’ i’tikaf.
- Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada satu hadits pun dengan lafadz yang umum atau mutlaq (tidak ada keterangan pengikat) dalam pensyari’atan i’tikaf di setiap waktu.
- Kalau seandainya i’tikaf di setiap waktu disyari’atkan, tentulah dalil tentang hal ini tersebar luas, karena Allah Ta’ala sudah memerintahkan Nabi-Nya dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Maidah: 67).
Terlebih lagi faktor pendorong untuk melakukan ibadah i’tikaf sangatlah kuat dan adanya kebutuhan untuk dinukilnya dalil tersebut.
Bagaimana dengan nadzar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu?
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال: “فأؤف بنذرك
“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan penuhi nazarmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemahaman terhadap hadits ini
1. Hukum yang ditunjukkannya
Hadits ini memang menunjukkan bolehnya i’tikaf di luar ramadhan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya, kalau seandainya hal ini hukumnya makruh atau haram tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Umar radhiyallahu ‘anhu memenuhi nazar tersebut.
Namun, i’tikaf diluar Ramadhan tersebut tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini, sehingga tidak kita katakan kepada orang-orang,“I’tikaflah Anda di masjid, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, karena hal itu hukumnya sunnah!” Jadi kita tidak mendorong setiap orang untuk i’tikaf kapanpun ia suka. Hanya saja, jika ada yang beri’tikaf di luar ramadhan, maka tidaklah kita ingkari dan hukumnya mubah (boleh). Jadi, tidak kita katakan perbuatan orang itu sebagai hal yang baru dalam agama. Akan tetapi kita katakan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hadits lain yang semakna dengan hadits ini
Ada hadits lain semakna dengan hadits di atas yang menunjukkan bahwa ada suatu perkara yang mubah hukumnya, namun tidak disyari’atkan secara umum dan tidak pula dituntut bagi setiap orang untuk melakukannya. Hadits tersebut adalah:
1) Hadits tentang membiasakan mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlas di dalam shalat
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu pasukan perang. Laki-laki tersebut menjadi imam shalat bagi para sahabatnya dan selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka pulang, disampaikanlah oleh mereka berita tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ
“Tanyakanlah kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Lalu mereka pun menanyakan kepadanya. Ia menjawab,’Karena di dalamnya terdapat sifat Ar-Rahman, dan akupun senang membacanya’ (Mendengar hal itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
“Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta’ala mencintainya.” [1]
Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan,
هذا يدل على أنه كان يقرأ بغيرها ثم يقرأها في كل ركعة وهذا هو الظاهر، ويحتمل أن يكون المراد أنه يختم بها آخر قراءته فيختص بالركعة الأخيرة.
”Orang tersebut biasa membaca surat selain Al-Ikhlash, lalu setelah itu dia menutupnya dengan membaca surat Al-Ikhlash pada setiap raka’at. Kemungkinan pertama inilah makna yang nampak dari hadits di atas. Kemungkinan kedua, orang tadi menutup akhir bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlash (dalam shalat), sehingga surat Al-Ikhlas khusus dibaca di raka’at terakhir.”[2]
Berdasarkan hadits ini, jika ada yang melakukan perbuatan tersebut, maka boleh hukumnya, namun tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini untuk selalu menutup bacaan shalatnya dengan surat Al-Ikhlas.
2) Hadits tentang sedekah Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di tempatnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di tempat beliau. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya’.”[3]
Memang benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui bahwa bersedekah atas nama ibu yang sudah meninggal itu bermanfaat bagi sang ibu, namun perbuatan ini tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda kepada umat ini, “Wahai umatku, bersedekahlah atas nama ibu-ibu kalian setelah meninggalnya mereka!”
Demikianlah intisari dari pemahaman terhadap hadits tentang nazar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah[4].
(Bersambung).
***
[1] HR. Al-Bukhari 6940, dengan Al-Fath lihat : http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=52&ID=4029&idfrom=13490&idto=13499&bookid=52&startno=4
[2] Fathul Bari, lihat : http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=52&ID=4029&idfrom=13490&idto=13499&bookid=52&startno=4
[3] HR. Bukhari
[4] Diolah dari Asy-Syarhul Mumti‘ 6/505-506 (PDF).
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id