I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (7)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (7)

Perbedaan Ḥaqqun dan Biaqqin

Syaikh Muḥammad bin Shaliḥ Al-‘Utsaimin raimahullāmenjelaskan bahwa ḥaqqun lebih sesuai dengan Al Quran. Hal ini sebagaimana firman Allah,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ

Żālika bi`annallāha huwalḥaqq

(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).

Adapun biḥaqqin, maka jār dan majrūr adalah khabar yang berhubungan dengan kata yang tidak disebutkan, yaitu kā`in ‘ada’. Dari penjelasan Syaikh Al-‘Uṡaimin di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penafsiran lā ilāha illallāh dengan lā ma‘būda ḥaqqun illallāh lebih utama, karena lebih sesuai dengan Alquran dan tidak membutuhkan kata yang tidak disebutkan. Wallahu a’lam.

3. Huruf Illā

Huruf illā berfungsi sebagai alat eksepsi (pengecualian). Huruf illā yang disebutkan setelah huruf lā berfungsi untuk membatasi sesuatu. Bentuk pembatasan yang seperti ini termasuk bentuk pembatasan yang terkuat dalam gaya bahasa Arab. Dalam lā ilāha illallāh, huruf  illā memiliki dua fungsi, yaitu alat eksepsi dan alat pembatas. Hal ini menunjukkan bahwa lā ilāha illallāh bermakna sesembahan yang benar hanyalah Allah semata, bukan selain-Nya atau tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

4. Lafadz Allāh

Kata Allāh berkasus nominatif (marfū). Kedudukannya sebagai badal (pengganti) dari khabar lā (1)yaitu ḥaqqun, bukan sebagai badal (pengganti) dari ism lā, yaitu ilāh karena hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ

Żālika bi`annallāha huwalḥaqq

(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah adalah (Sesembahan) Yang Benar” (QS. Al-Ḥajj: 62).

Kata Allāh pada lā ilāha illallāh tidak berfungsi sebagai khabar lākarena lā nafiyyah liljinsi hanya member pengaruh pada ism nakirah (nomina indefinit) (2).

Makna Lafadz Allāh

Ibnu ‘Abbas raiyallāhu ‘anhu menjelelaskan bahwa makna lafa Allāh adalah yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) dari seluruh makhluk-Nya (3).

[Bersambung]

Rujukan

  1. Syarh Ath-Thohawiyyah, Syaikh Sholeh Alusy Syaikh, http://shamela.ws/browse.php/book-934/page-28
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Al-‘Utsaimin, hal.21.
  3. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28702-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-7.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (6)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (6)

Kaum musyrikin tidak pernah mengingkari adanya sesembahan-sesembahan selain Allah. Mereka tahu bahwa terdapat banyak sesembahan-sesembahan selain Allah di dunia ini. Oleh karena itu, ketika diseru untuk mengucapkan lā ilāha illallāh, mereka menjawab sebagaimana dalam firman Allah berikut.

أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَـهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

`Aja‘alal `ālihata ilāhan wāḥidan `inhāża lasyai`un ‘ujāb

Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan (kami) itu (harus ditinggalkan dan hanya menyembah) Sesembahan Yang Satu saja (Allah)? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Ṣād: 5).

Seandainya makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada sesembahan kecuali Allahmaka kaum musyrikin dahulu akan menjawab “Ucapanmu salah, sesembahan-sesembahan itu banyak jumlahnya!”

Lā ilāha illallāh adalah Inti Ajaran Islam

Lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah adalah inti ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang ditentang oleh kaum musyrikin. Mereka menentangnya karena makna kalimat tauhid tersebut mengharuskan mereka meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah dan hanya menyembah Allah saja. Maka sangat pas dengan kenyataan penentangan mereka terhadap kalimat tauhid ini, ketika kalimat tersebut ditafsirkan dengan makna tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah.

Inilah inti ajaran para rasul ‘alaihimu alātu was sallasemenjak dahulu kal. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian’” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

Memaknai Khabar Lā ilāha illallāh

Menurut penafsiran mutakallimin, asya‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu yunani khabar lā ilāha illallāh adalah maujūd. Mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan tafsiran sebatas makna rubūbiyyah, sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena itu makna lā ilāha illallāadalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya dan (justru) selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah ” atau “Tidak ada Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk kecuali Allah”. Atau dengan kata lain “Tidak ada Rabb kecuali Allah”, yang berarti maknanya adalah sebatas tauḥīd rubūbiyyah.

Jika ditafsirkan kata ilāha dengan makna rubūbiyyah dan khabar lā adalah maujūd, tentulah kaum musyrikin Quraisy zaman dahulu ketika diajak mengucapkan lā ilāha illallāakan mengucapkannya dengan mudah, karena mereka tidak mengingkari rubūbiyyah Allah.

Penafsiran lā ilāha illallāh dengan makna tiada sesembahan yang ada kecuali Allah mengandung makna yang sangat batil, yaitu seluruh sesembahan selain Allah itu adalah Allah Ta’ālā. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ṣāliḥ Al- ‘Uṡaimin  raimahullāh ketika mengingkari penafsiran tersebut,

Jika Anda mengatakan lā ma‘būda maujūdun ilallāh maka patung-patung itu semuanya adalah Allah dan (ucapan) ini adalah kemungkaran yang (sangat) besar1.

Kenyataan membuktikan bahwa terdapat sesembahan-sesembahan selain Allah, namun jelas itu adalah sesembahan-sesembahan yang batil dan tidaklah memiliki hak untuk diibadahi.

[Bersambung]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

___

Sumber: https://muslim.or.id/28692-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-6.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (5)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (5)

Khabar Lā nafiyyah liljinsi pada Lā ilāha illallāh

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Ilāh adalah ism lā nafiyyah liljinsi. Adapun khabar lā nafiyyah liljinsi dalam kalimat lā ilāha illallāh tidak disebutkan. Hal ini karena khabar tersebut telah diketahui dari Alquran dan As-Sunnah dan dari konteks kalimat lā ilāha illallāh. Begitulah dalam bahasa Arab, khabar lā nafiyyah liljinsi banyak tidak disebutkan.

Ibnu Malik menjelaskan bahwa banyak tersebar dalam bab (lā nafiyyah liljinsi) penghilangan khabar, jika telah jelas maksud khabar dengan penghilanganya tersebut.

Demikianlah, khabar lā itu banyak dihilangkan (tidak disebutkan), dan ditentukan khabar yang tidak disebutkan tersebut sesuai dengan konteksnya. Hal ini sebagaimana dalam contoh berikut.

أ: هل في البيت من رجل؟

A: Hal filbaiti min rajulin?

“Apakah ada seorang pria di rumah itu?”

ب: لا رجل

B: Lā rajula

“Tidak ada seorang pria pun!”

Maksud jawaban itu adalah tidak ada seorang pria pun di rumah itu. Tidak disebutkannya filbaiti ‘dalam rumah itu’ karena telah jelas maksudnya. Apakah khabar lā nafiyyah liljinsi pada lā ilāha illallāh? Khabar lā pada lā ilāha illallāh adalah aqqun ‘benar’ atau biaqqin ‘dengan benar’. Oleh karena itu makna lā ilāha illallāh adalah lā ilāha aqqun illallāh ‘tiada sesembahan yang benar (berhak disembah) kecuali Allah.’ Oleh karena itu, salah jika seseorang menentukan khabar lā pada lā ilāha illallāh itu dengan maujūd ‘ada’, sebagaimana diungkapkan oleh mutakallimin, asya’ariyyah, mu’tazilah dan para filsuf. Menurut mereka makna lā ilāha illallāh adalah lā ilāha maujūdun illallāh ‘tiada sesembahan yang ada kecuali Allah’ atau dengan kata lain tidak ada tuhan kecuali Allah. Ini adalah tafsiran yang salah karena sesuatu yang disembah selain Allah itu ada, bahkan banyak.

Alasan khabar lā pada lā ilāha illallāh adalah aqqun ‘benar’ atau biaqqin ‘dengan benar’ adalah sebagai berikut.

1. Dalam surat Al-Ḥajj: 62 disebutkan secara jelas bahwa satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah semata, sementara selain-Nya adalah sesembahan yang salah, Allah berfirman,

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

ẓālika bi `annallāha huwalḥaqqu wa `anna mā yad‘ūna mindūnihi huwalbāṭilu wa`annallāha huwal‘aliyyulkabīr

“(Kekuasaan Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah, itulah (sesembahan) yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Al-Ḥajj: 62).

[bersambung]

Sumber: https://muslim.or.id/28675-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-5.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (4)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (4)

Penafsiran Kata ilāha  yang Salah

Mutakallimin, asy‘ariyyah, mu‘tazilah dan orang-orang yang mewarisi ilmu Yunani menyatakan bahwa kata ilāha dipahami dengan makna fā‘il, sehingga maknanya adalah ālih, yang mengacu pada kata qādir  ‘Yang Maha Kuasa’, maksudnya  Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk.

Di antara mereka menafsirkan kata ilāha dengan makna ghanī  ‘Yang Maha Kaya’, tak membutuhkan kepada selain-Nya, malah selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah. Hal ini tertulis di kitab-kitab aqidah asy‘ariyyah, sebagaimana dalam syarah Al-Aqidah As-Sanusiyyah yang disebut dengan Ummul Barahin,

الإله هو المستغني عما سواه، المفتقر إليه كل ما عداه

“Al-Ilāha adalah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya.”

Jadi, tafsiran makna Lā ilāha illallāh menurut mereka adalah tidak ada Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya kecuali Allah.

Tafsiran Salah Membuka Pintu Kesyirikan

Menafsirkan ulūhiyyah dengan makna rubūbiyyah, sebagaimana tafsiran di atas membuka pintu kesyirikan. Mereka menyangka bahwa tauhid itu sebatas mengesakan Allah dalam rubūbiyyah-Nya semata. Hal ini menunjukkan jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kuasa dalam menciptakan makhluk, ia telah mentauhidkan-Nya. Demikian pula, jika seseorang meyakini hanya Allahlah Yang Maha Kaya, tak membutuhkan kepada selain-Nya, namun selain-Nya lah yang membutuhkan-Nya, ia telah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.

Ini merupakan keyakinan yang salah. Kaum musyrikin Quraisy dahulu meyakini keesaan Allah Ta‘ālā  dalam rubūbiyyah-Nya, namun hal itu tidak lantas menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mentauhidkan Allāh.

Perhatikanlah firman Allah Ta‘ālā berikut ini,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Wala`insa`altahum man khalaqas samāwāti wal`arḍa wa sakhkharasy syamsa wal qamara layaqūlunnallāhu fa`annā yu`fakūn

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka,‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’, maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadahan)” (Al- ‘Ankabūt: 61).

Ibnu Kaṡīr raimahullāmenjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah Ta‘ālā membatasi makna Lā ilāha illallāh. Hal ini berkenaan dengan kaum musyrikin yang mengakui bahwa Allah itu Maha Esa dalam rubūbiyyah-Nya, namun masih saja mereka menyembah dan beribadah kepada selain-Nya.

Maka Allah Ta‘ālā ingkari mereka, fa`annā yu`fakūn ‘maka mengapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari mentauhidkan-Nya dalam peribadatan)?’ Ibnu Kaṡīr raimahullāmenafsirkan maka mengapa mereka menyembah selain-Nya? 1.

[Bersambung]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

___

 

  1. Inti penjelasan dalam Tafsir Ibnu Katsir, jilid: 4 , hal. 165 

Sumber: https://muslim.or.id/28663-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-4.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (3)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (3)

Ilāha (إِلَٰهَ)

Ilāha adalah ism lā nafiyyah liljinsi berharakat fatah (mabniyyun ‘alal fati) karena isim mufrad (kata tunggal). Ilāha itu berpola fi‘āl. Pola tersebut  ditafsirkan dalam bentuk lain, yaitu bentuk maf‘ūl atau fā‘il. Penafsiran yang benar dari kata ilāha adalah ma‘būd  berpola maf‘ūl bermakna sesembahan. Hal ini karena kata ilāha diambil dari kata ālahu, ya`lahu, ilāhatan, `alwahatan, `alwahiyyatan. Semua kata tersebut bermakna ‘abada, ya‘budu, ‘ibādatan, ‘ubūdiyyatan. Hal ini berdasarkan bacaan pakar tafsir di kalangan sahabat, Ibnu Abbas raiyallāhu‘anhu ketika membaca firman Allah Ta‘ālā,

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَىٰ وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ

wa qālal mala`u min qaumi Fir‘auna atażaru mūsa wa qaumahu liyufsidū fil `arḍi wa yażaraka wa `ālihataka (QS. Ṣād: 235).

Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir‘aun (kepada Fir‘aun), ‘Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?’”

Ibnu ‘Abbas membaca hamzah pada `ālihataka dengan kasrah, sehingga dibaca `ilāhataka. Oleh karena itu, wa yażaraka wa `ālihataka dibaca wa yażaraka wa `ilāhataka bermakna ‘dan meninggalkan kamu serta penyembahan (kepada) mu’. Dengan demikian Ibnu ‘Abbas memahami `ilāhata sebagai ‘ibādata ‘penyembahan’.

Terkait dengan kata Allāh yang menurut sebagian ulama, secara bahasa, proses pembentukan katanya sebelum menjadi kata Allāh terlebih dahulu berbentuk kata al-`ilāha, Ibnu ‘Abbas raiyallāhu‘anhu menjelaskan, bahwa kata Allāmengacu pada seuatu yang memiliki kekhususan ulūhiyyah dan ‘ubūdiyyah (hak untuk diibadahi) atas seluruh makhluk-Nya.

Secara konteks kalimat tauhid Lā ilāha illallāh memang menunjukkan bahwa makna kata iha adalah sesembahan. Makna inilah yang dipahami oleh kaum Arab saat itu. Mereka memahami bahwa kalimat tauhid ini meniadakan seluruh sesembahan batil selain Allah yang selama ini mereka sembah dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang benar adalah Allah. Oleh karena itulah kaum musyrikin menolak bersyahadat dengan dengan Lā ilāha illallāh.

[Bersambung]

Catatan:

  1. Mabnī  ‘alal fati ketika `ism lā adalah mufrad (tunggal) atau jam‘ taksīrmabnī  ‘alal yā` jika `ism lā muanna dan jam‘ mużakkar salim, dan mabni ‘alal kasri jika ism lā jam‘ mu`anna sālim.
  2. Dalam bahasa Arab dinamakan tabādulu iyag (pergantian bentuk kata dalam memaknai)maksudnya suatu kata dengan igah tertentu lalu dimaknai dengan igah lainnya, misalnya: QS. Ash-Shaaffaat: 107.
  3. Contoh : كتاب (kitāb),  بساط  (bisā), فراش (firāsy), dan مهاد (mihād).
  4. At-Tamhid, Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh, hal. 74.
  5. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307
  6. Ulama Nahwu rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah kata “Allah” itu musytaq atau jamid, pendapat yang terkuat -wallahu a’lam- yang menyatakan musytaq, lihat: http://madrasato-mohammed.com/mawsoaat_tawheed_03/pg_033_0009.htm.
  7. Baca selengkapnya : http://www.dorar.net/enc/aqadia/307

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28656-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-3.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (2)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (2)

Makna Lā ilāha illallāh Berdasarkan I‘rabnya

Memahami makna Lā ilāha illallāh tidaklah bisa lepas dari i’rab kalimat Lā ilāha illallāh. Salah dalam mengi‘rabnya dapat menyebabkan salah dalam memahami tafsir dan kandungannya. Hal ini dapat menuntun seseorang menuju pada pemahaman yang keliru, namun dirasa benar.

I‘rab

I‘rab adalah perubahan yang terjadi pada akhir kata, baik nampak ataupun tidak nampak dengan sebab ‘āmil (unsur pengubah). I‘rab dapat terjadi pada ism (nomina) atau fi‘l (verba). I‘rab kalimat Lā ilāha illallāh hanya terjadi pada ismI‘rab tersebut berfungsi menunjukkan kedudukan/fungsi ism dalam sebuah kalimat, misalnya ism itu sebagai subjek, predikat, atau objek.

I‘rab Lā ilāha illallāh

Kalimat tauhid Lā ilāha illallāh terdiri dari empat unsur sebagaimana dalam tabel berikut.

لاَ إِلَٰهَ إِلّاَ اللهُ
Lā ilāha illā ِِAllāh

Huruf Lā di sini adalah nafiyyah liljinsi (peniadaan jenis)Huruf tersebut memiliki ism dan khabar. Disebut nafiyyah liljinsi (peniadaan jenis) karena meniadakan khabarnya dari seluruh yang termasuk kedalam jenis ismnya, sehingga Lā nafiyyah liljinsi merupakan bentuk peniadaan yang paling luas cakupan peniadaannya. Huruf ini disebut juga Lā istigraqiyyah, karena cakupan peniadaannya mencakup seluruh jenis ismnya dan disebut pula Lā littabriah, karena melepaskan jenis ismnya dari makna khabarnya. Contoh

لا كافر ناج من النار

Tidak ada seorangpun dari orang kafir yang selamat dari neraka.

Lā nafiyyah liljinsi disini meniadakan khabarnya (selamat dari neraka) dari jenis isimnya (jenis/seluruh orang kafir). Artinya, tidak ada keselamatan dari api neraka bagi orang-orang kafir.

Adapun  ism Lā nafiyyah liljinsi dalam kalimat tauhid Lā ilāha illallāh adalah ilāha (إله), sementara khabarnya tidak disebutkan (mahdzuf) dan taqdirnya adalah ḥaqqun (حقٌّ).

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28648-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-2.html

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (1)

I‘rab Lā ilāha illallāh dan Pengaruh Maknanya (1)

Keutamaan Kalimat ikhlas Lā ilāha illallāh

Ibnu Rajab raimahullāmenulis sebuah kitab yang sangat indah berjudul Kalimatul Ikhlāṣ. Di dalam kitab dijelaskan keutamaan-keutamaan kalimat ikhlas, yaitu Lā ilāha illallāh.

Dalam kitab tersebut terdapat pasal “Penjelasan keutamaan-keutamaan kalimat Lā ilāha illallāh”. Ibnu Rajab menjelaskan bahwa kalimat tauhid memiliki keutamaan-keutamaan yang agung, tidak mungkin di dalam (pasal) ini dibahas semuanya, maka kami sebutkan beberapa keutamaan-keutamaannya.

Kalimat tersebut adalah kalimat taqwa sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar raiyallāhu‘anhu dan sahabat lainnya. Kalimat tersebut merupakan kalimat ikhlas, persaksian yang haq, dakwah yang haq, (kalimat yang mengandung) berlepasnya diri dari kesyirikan dan merupakan sebab selamat darinya. Kalimat ini adalah sebab makhluk diciptakan, sebagaimana Allah Ta’ālā berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (semata)” (QS. AŻ-Żariyat: 56).

Kalimat ini adalah sebab diutusnya para rasul dan diturunkan kitab-kitab Allah, sebagaimana Allah Ta’ālā berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

Dan Allah Ta’ālā berfirman,

يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ

Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku” (QS. An-Nal: 2).

Dan ayat yang semisal ayat-ayat tersebut. Begitu pula, nikmat yang Allah sebutkan kepada hamba-hamba-Nya di dalam surat tentang “Nikmat-nikmat (Allah)”, surat An-Nal. Oleh karena itulah Ibnu ‘Uyainah mengatakan,

ما أنعمَ اللَّهُ على عبدٍ من العبادِ نعمةً أعظمُ من أن عرَّفهم لا إلهَ إلا اللَّهُ

“Tidaklah Allah memberi nikmat yang lebih besar daripada diajarkan-Nya kepada mereka (makna) Lā ilāha illallāh” 1.

Fenomena Ironis

Orang-orang kafir di zaman Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam tahu makna Lā ilāha illallāh, terbukti ketika dahulu mereka diseru untuk mengucapkan Lā ilāha illallāh, mereka menjawab,

أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَـهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan (kami) itu (harus ditinggalkan dan hanya menyembah) Sesembahan Yang Satu saja (Allah)? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 5).

Syaikh Muhammad At-Tamimi raimahullādalam kitabnya Kasyfusy Syubuat menjelaskan bahwa jika anda telah mengetahui bahwa orang-orang kafir yang awam (saja) mengetahui (makna Lā ilāha illallāh), maka sungguh mengherankan orang yang mengaku beragama Islam sedangkan ia tidak mengetahui tafsir kalimat ini, (padahal itu) sesuatu yang diketahui oleh orang-orang kafir yang awam. Bahkan ada prasangka bahwa (kalimat Lā ilāha illallāh) itu sekedar diucapkan huruf-hurufnya tanpa diyakini sedikitpun maknanya. Sedangkan kaum intelektual mereka (ada yang) menyangka maknanya hanya sebatas tidak ada yang menciptakan, memberi rezeki, mengatur urusan kecuali Allah. Tidak ada kebaikan pada diri seseorang yang pemahamannya terhadap Lā ilāha illallāh tidak lebih baik daripada orang-orang kafir.

[Bersambung]

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

[serialpost]

___

  1. Kalimatul Ikhlash, Ibnu Rajab, hal. 52-53 

Sumber: https://muslim.or.id/28644-irab-la-ilaha-illallah-dan-pengaruh-maknanya-1.html

Kajian Akbar Jogjakarta Ustadz Dr. Firanda Andirja MA

Kajian Akbar Jogjakarta Ustadz Dr. Firanda Andirja MA

Hadirilah Kajian Akbar bersama
Ust. Dr. Firanda Andirja, MA
(Alumni Universitas Islam Madinah)

1# (Tambahan)
Tema : Dahsyatnya Fitnah Wanita (khutbah jum’at)
Waktu : Jum’at, 14 Safar 1439H / 3 November 2017
Pukul : 11.30 – 12.30 WIB
Tempat : Masjid Yaumi (https://goo.gl/maps/717y39MczRw)
Cp: 08122745705

#2
Tema : Tafsir surat Fathir ayat 32-37
Waktu : Jum’at, 14 Safar 1439H / 3 November 2017
Pukul : 18.00 – 20.30 WIB
Tempat : Masjid Syaikh Jamilurrahman (https://goo.gl/maps/rSaciCZDYdm)
CP : 0813 2725 5897

#3 (Tambahan)
Tema : Hamba-Hamba Yang Dicintai ALLAH
“Mutiara Faidah Dari Hadits Sa’id bin Abi Waqas”
Waktu : Sabtu, 14 Safar 1439H / 4 November 2017
Pukul : 07.00 – 08.00 WIB
Tempat : Rumah Bpk Wasis (https://goo.gl/maps/sT9ENi9cBJP2)
CP : 0818 271 824

#4
Tema : Khodijah radiallahu ‘anhaa (Khusus Muslimah)
Waktu : Sabtu, 14 Safar 1439H / 4 November 2017
Pukul : 09.00 – 10.30 WIB
Tempat : Masjid Al Mujahidin UNY (https://goo.gl/maps/kjYXAhWBPg62)
CP : 082299996418

#5 (Tambahan)
Tema : Washiat Nabi kepada Ibnu Abbas
Waktu : Sabtu, 15 Safar 1439H / 4 November 2017
Pukul : 18.00 – 20.30 WIB
Tempat : Masjid Al Utsaimin, Ma’had Al Ukhuwah, Joho, Sukoharjo (https://goo.gl/maps/S5xCviGJtwE2)
CP : 0821 3634 2715

#6
Tema : KISAH PERANG KHANDAK
“Mengambil Faedah Dari Peristiwa-Peristiwa Besar Yang Terjadi Di Dalamnya”
Waktu : Ahad, 15 Safar 1439H / 5 November 2017
Pukul : 09.00 – 11.00 WIB
Tempat : Masjid Kampus UGM (https://goo.gl/maps/UQdmv4HncT62)
CP : 0852 40864098

#7
Tema : Pesona Bidadari Surga
Waktu : Ahad, 15 Safar 1439H / 5 November 2017
Pukul : 16.00 – 17.00 WIB
Tempat : Pesantren Darush Sholihin Dusun Warak RT.08 / RW.02, Desa Girisekar, Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (https://goo.gl/maps/PhKxP2S1aSn)
CP : 0812 2601 4555

#8 (Tambahan)
Tema : Wahai para wanita bersedekahlah karena kalian banyak penghuni neraka (Khusus Muslimah)
Waktu : Senin, 16 Safar 1439H / 6 November 2017
Pukul : 07.00 – 08.30 WIB
Tempat : Masjid Al Hasanah (https://goo.gl/maps/SaDGK1jDvPQ2)
CP : 0815 687 7677

Terbuka untuk Umum
Gratis

Penyelenggara :
Kampoeng Santri
YPIA
Pesantren DS
BIAS
APKOM MENGAJI
Yayasan Ar Risalah Sukoharjo

Di dukung oleh :
Takmir Masjid Kampus UGM
Takmir Masjid Mujahidin UNY
Ponpes Jamilurrahman
Ponpes YAUMI
BAM
URCT Peduli Muslim
Pengajian Muslimah
Radio Muslim Yogyakarta